Sabtu, 15 Maret 2014

SUDAHKAH YANG TERBAIK KUBERIKAN? (KEJADIAN 4:1-16)

                                                                                                                   
Uraian
Saudara-saudara, menjadi hal yang sangat umum kita ketahui dari pengalaman orang-orang yang sedang jatuh cinta bahkan yang acap kali kita alami dan kita lakukan ketika kita jatuh cinta. Dapat dipastikan seratus persen bahwa orang yang sedang jatuh cinta pasti akan memberikan yang terbaik kepada orang yang dicintainya. Apalagi kita baru saja melalui momentum valentine day bagi yang merayakan. Maka dalam ungkapan-ungkapan cinta terlepas dari ungkapan tersebut hanya sebatas gombal semata atau diungkapkan dari hati sanubari yang paling dalam, kita seringkali mendengar ungkapan-ungkapan indah dari orang yang nyata-nyata sedang kasmaran terhadap kekasihnya. Sebut saja ungkapan: demi cintaku padamu, maka gunung pasti kan kudaki; laut kan kuseberangi; bahkan aku rela mengganti nyawamu dengan nyawaku. Biarlah kau hidup seribu tahun lagi...Selanjutnya teruskan sendiri. Tapi masalahnya ungkapan-ungkapan indah itu dalam pengalaman perjalanan cinta sebagian orang hanya diungkapkan pada saat pacaran saja. Kalau sudah menikah ungkapannya bisa berbeda 180 derajat. Saya pribadi tidak berani mengatakan atau menjastivikasi apakah ini sebagian besar atau sebagian kecil orang. Tapi tentunya kita bisa melihat dalam realita nyata yang acap kali terjadi di sekitar kita. Salah satu contoh kasus yang sedang ramai di infotaiment adalah perihal ayu ting-ting dan enji. Ketika pacaran ayu ting-ting merasakan begitu disanjung, sama seperti satu judul sinetron lawas yang pernah ada di Indosiar: “Tersanjung.” Tapi beberapa lama setelah menikah justru dia merasakan perbedaan sikap dari laki-laki yang sudah menjadi suaminya ini. Sehingga pada akhirnya mereka pun berpisah dan sedang berjalan dalam mengurus proses perceraian. Tentunya hal seperti ini diharapkan tidak terjadi dalam kehidupan rumah tangga dan keluarga Kristen, terutama juga dalam kehidupan kita pribadi lepas pribadi. Karena menurut hemat saya sebagaimana tergambarkan juga dalam kesaksian Alkitab, Kekristenan sangat menjunjung tinggi kesetiaan. Bahkan kesetiaan antar pasangan; baik istri kepada suami maupun suami kepada istri harus dilandasi dan merupakan aplikasi dan implikasi dari kesetiaan kepada Tuhan. Makanya dalam kekristenan sama sekali tidak dikenal istilah poligami atau bahkan poliandri. Kekristenan sangat menjunjung tinggi azaz pernikahan monogami. Satu pria untuk satu wanita; dan satu wanita untuk satu pria. Kekristenan sebagaimana Tuhan berfirman di dalam Alkitab sangat membenci dan tidak pernah menyetujui dan melegalkan perceraian. Menjadikan perceraian sebagai pilihan pun tidak. Karena jelas tertulis bahwa apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia. Oleh karena itu bagi para suami maupun para istri, setialah dengan pasangan hidupmu sampai maut memisahkan. Itu sudah sangat jelas dan tidak bisa terbantahkan. Lebih dalam lagi mengenai hubungan suami dan istri, meskipun Alkitab mengungkapkan kepada kaum istri untuk tunduk kepada suami seperti kepada Tuhan, namun dalam pola hubungan antara suami dan istri, sangat tidak diperbolehkan terjadinya praktek-praktek perendahan derajat istri di mata suami, maupun sebaliknya suami di mata istri. Dalam istilah kerennya disebut subordinasi. Yang harus terjadi adalah antara suami dan istri haruslah saling melengkapi satu dengan yang lain. Suami menjadi teladan bagi istrinya. Dan istri menjadi penolong yang sepadan bagi suami. Acap kali dalam realita rumah tangga dimana-mana tempat, bahkan mungkin juga dalam realita rumah tangga Kristen, suami menjadi kepala rumah tangga yang otoriter dan memerintah istri dengan tangan besi tanpa bisa dibantah dan dikompromikan secara bersama-sama antara keduanya. Suami acap kali melarang istrinya untuk bekerja dan hanya boleh menjadi ibu rumah tangga dengan alasan ini dan itu, padahal sesungguhnya suami tidak ingin merasa tersaingi oleh istrinya. Apalagi kalau suami menyadari bahwa istrinya sesungguhnya lebih smart dan bisa memperoleh kedudukan bahkan gaji yang lebih tinggi dari suaminya. Makanya banyak rumah tangga (bahkan mungkin juga rumah tangga Kristen) berantakan bahkan cenderung hancur karena masalah kecemburuan sosial antara suami dan istri. Tapi tentunya menyikapi hal tersebut, kita perlu kembali kepada prinsip kebenaran Alkitab. Pun di dalam rumah tangga dimana tadi dikatakan bahwa antara suami dan istri harus saling memperlengkapi dan bekerjasama, maka tentunya perlu ada kompromi atau kesepakatan bersama dalam mengurus rumah tangga. Memang pengambil keputusan tertinggi dalam rumah tangga adalah suami sebagai nahkoda dalam satu kapal yang bernama rumah tangga tersebut. Namun sebagai nahkoda yang bijak, maka suami pun perlu mendengarkan masukan dari istri. Suami pun perlu menghargai eksistensi istrinya, termasuk ketika ia mau bekerja atas izin suami untuk sama-sama menunjang kehidupan ekonomi keluarga.
            Saudara-saudara, dengan berbagai prinsip dan pemahaman yang dianut dalam kekristenan mengenai hubungan antara dua insan pria dan wanita yang saling mencinta sampai akhirnya menjadi suami dan istri dan membentuk sebuah keluarga, tentu hal yang sama diharapkan oleh Tuhan kepada tiap-tiap kita yang telah Ia jadikan sebagai umat pilihan-Nya; dan yang telah siap sedia meresponi panggilan dan pemilihan Tuhan atas dirinya atau bahkan diri kita masing-masing maupun secara bersama-sama sebagai gereja atau komunitas orang percaya. Yang diharapkan oleh Tuhan tentu tidak lain dan tidak bukan adalah juga kesetiaan yang diapresiasikan melalui komitmen penuh secara konsisten bahwa kumau cinta Yesus selamanya. Bahkan meskipun badai silih berganti datang dalam hidupku, ku mau dan ku tetap cinta Yesus selamanya. Bahkan aku mau memberi yang terbaik untuk Tuhan demi kemuliaan nama-Nya sebagai respon atas rasa syukur kita karena Dia sudah lebih dulu memberi yang terbaik kepadaku. Dia yang lebih dulu memanggil dan memilih aku. Dia yang menebus aku dan mengangkat aku dari lobang kubur. Bahkan Ia menganugerahkan kepadaku keselamatan dan hidup kekal. Tidak ada alasan bagiku untuk tidak memberi yang terbaik baginya. Itulah yang sesungguhnya dan seharusnya menjadi komitmen dan sikap hati kita kepada Tuhan. Dengan komitmen dan sikap hati yang demikian, maka pastilah akan tergambar dan terbukti juga dalam sikap dan tindakan hidup kita secara nyata.
Kalau berbicara tentang cinta saudara-saudara, berarti kita berbicara tentang hati. Dalam bahasa Yunani disebut kardia. Makanya kita kenal istilah kardiologi atau ilmu yang menangani soal hati dan penyakit dalam. Kenapa cinta selalu dikaitkan dengan hati saudara-saudara? Karena Tuhan menumbuhkan cinta adalah di dalam hati kita. Dan kalau kita mau melihat kisah dalam Kejadian 4:1-16 yang menjadi bagian bacaan kita saat ini, dapat kita lihat saudara-saudara bahwa Kain dan Habel sama-sama mempersembahkan korban persembahan kepada Tuhan. Kain mempersembahkan sebagian dari hasil tanah sebagai korban persembahan kepada Tuhan. Sementara Habel mempersembahkan anak sulung kambing dombanya, yakni lemak-lemaknya. Hal ini seiring sejalan dengan latar belakang keduanya yang berbeda sekalipun mereka kakak beradik. Kain adalah seorang petani. Sementara Habel adalah seorang gembala kambing domba. Persoalannya kemudian, ketika keduanya sama-sama mempersembahkan korban persembahan kepada Tuhan dan keduanya pasti sama-sama merasa sudah memberi yang terbaik untuk Tuhan melalui persembahannya, namun ternyata Tuhan lebih mengindahkan korban persembahan Habel. Sementara korban persembahan Kain tidak diindahkan Tuhan. Hal itu  membuat hati Kain menjadi sangat panas dan mukanya muram. Padahal, kalau kita mau berpikir secara sederhana saudara-saudara; siapa yang berhak menentukan mana persembahan yang diterima dan ditolak dalam konteks kisah ini? Tentunya memang Tuhan sendiri yang berhak menentukan karena persembahan itu adalah untuk Tuhan. Jadi dalam pikiran sederhana kita saya ingin bertanya: berhakkah Kain marah atas penolakan itu? Jawabannya tentu tidak. Tapi melalui peristiwa ini, Tuhan dapat benar-benar membuktikan siapa sebenarnya Kain dan siapa Habel. Bahkan sesungguhnya sejak awal mereka Tuhan ciptakan, Tuhan sudah tahu dan kenal siapa mereka. Demikian juga dengan kita saudara-saudara. Kalau mau bicara lebih global lagi, seluruh umat manusia yang Tuhan ciptakan, Tuhan tahu dan kenal sedalam-dalamnya tentang manusia ciptaan-Nya. Pertanyaannya: apakah ada satu manusia pun di muka bumi ini yang bukan merupakan ciptaan Tuhan? Pengembangan dari monyet mungkin seperti kata Charles Darwin? Dengan iman sesuai kesaksian Alkitab kita dapat mengatakan bahwa semua manusia adalah ciptaan Tuhan dan dicipta serupa dan segambar dengan Dia. Dicipta menurut citra Allah. Sehingga pastilah Tuhan mengenal seluruh umat manusia sedalam-dalamnya, termasuk juga hatinya Tuhan kenal. Tuhan tahu dengan benar dan pasti. Karena Allah kita adalah Allah pencipta. Allah kita adalah Allah yang maha tahu. Tidak ada satu hal pun yang dapat tersembunyi daripada-Nya. Termasuk juga kondisi di dalam hati Kain yang sedang panas karena penolakan Tuhan itu. Terlebih lagi ketika kepanasan hati itu membuahkan sebuah tindakan dimana Kain membunuh Habel. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa satu kejahatan pasti akan membuahkan kejahatan-kejahatan yang lain. Terbukti juga ketika Tuhan bertanya kepada Kain “Dimana Habel adikmu itu?” Maka Kain menjawabnya dengan kebohongan. Kain berkata kepada Tuhan “Aku tidak tahu! Apakah aku penjaga adikku?” Padahal logikanya seorang kakak memang sepatutnya menjaga adiknya. Dengan demikian kakak beradik itu haruslah saling menjaga. Atas jawaban Kain itu Tuhan mengungkapkan sebuah kebenaran yang tidak bisa terbantahkan, bahwa darah Habel berteriak kepada Tuhan dari tanah, sehingga Tuhan pun mengutuk Kain. Dalam ayat yang ke-11 dan ke-12 digambarkan bagaimana Tuhan mengutuk Kain sedemikian. Bahkan dalam perspektif Kain yang tercatat dalam ayat ke-13 ia berkata: hukumanku itu lebih besar dari apa yang dapat kutanggung. Namun itulah konsekuensi dosa saudara-saudara. Alkitab menggambarkan bahwa konsekuensi dosa amat sangat besar, yaitu maut. Namun dalam bagian bacaan kita digambarkan bahwa Tuhan masih berbelas kasihan kepada Kain meskipun Tuhan tahu kesalahan Kain amatlah besar. Tuhan berfirman kepada Kain: sekali-kali ia tidak akan mati dibunuh. Karena barangsiapa membunuh Kain akan dibalaskan kepadanya tujuh kali lipat. Kemudian Tuhan menaruh tanda pada Kain supaya ia jangan dibunuh oleh siapa pun yang bertemu dengan dia.
Fakta mengenai Kain ini tentunya tidak serta merta menjadi contoh bagi kita tentang pembiaran dan pelegitimasian Allah terhadap tindakan kejahatan. Bahkan Alkitab menegaskan kepada kita agar kita jangan sekali-kali lagi menjadi hamba dosa melainkan hamba kebenaran. Terlebih bagi tiap-tiap kita yang telah menjadi percaya, dipilih dan ditebus Tuhan dari dosa. Namun fakta ini ingin menunjukkan tentang betapa berbelas kasihannya Tuhan kepada Kain. Demikian juga Tuhan ingin menyatakan belas kasih-Nya kepada kita saat ini. Siapapun kita, apapun persoalan dan pergumulan hidup kita, seberat apapun itu, mari kita datang kepada Tuhan. Kita ungkapkan semua di hadapan Tuhan. Mari kita mengaku bahwa sesungguhnya kita belum mampu untuk memberi yang terbaik bagi Tuhan sebagai wujud syukur kita bahwa Tuhan sudah memberi yang terbaik bagi kita. Mari kita mengakui dan mohon ampun atas segala salah dan dosa kita. Percayalah bahwa Ia setia dan adil bagi mereka yang mau mengakui salah dan dosanya dengan penuh kejujuran dan ketulusan serta dengan sungguh-sungguh bertobat kepadaNya. Mari kita mengambil waktu untuk merekomitmen hati kita dan berkata dengan sungguh di hadapan Tuhan: Aku ingin bangkit lagi. Aku ingin lebih sungguh lagi dalam mengungkapkan syukurku kepada Tuhan dan memberi yang terbaik bagi kemuliaan nama Tuhan. Tuhan sungguh tidak berubah dari dulu, sekarang dan selamanya. Ia adalah Allah yang penuh kasih. Dan Ia menginginkan kita mengasihi Dia dengan sungguh dan lebih sungguh lagi senantiasa. Sungguh, Tuhan mengasihi dan memberkati kita. Amin.

Penutup
“SUDAHKAH YANG TERBAIK KUBERIKAN” (NKB 199).