Uraian
Saudara-saudara, menjadi hal yang sangat umum kita
ketahui dari pengalaman orang-orang yang sedang jatuh cinta bahkan yang acap
kali kita alami dan kita lakukan ketika kita jatuh cinta. Dapat dipastikan
seratus persen bahwa orang yang sedang jatuh cinta pasti akan memberikan yang
terbaik kepada orang yang dicintainya. Apalagi kita baru saja melalui momentum
valentine day bagi yang merayakan. Maka dalam ungkapan-ungkapan cinta terlepas dari
ungkapan tersebut hanya sebatas gombal semata atau diungkapkan dari hati
sanubari yang paling dalam, kita seringkali mendengar ungkapan-ungkapan indah
dari orang yang nyata-nyata sedang kasmaran terhadap kekasihnya. Sebut saja
ungkapan: demi cintaku padamu, maka gunung pasti kan kudaki; laut kan
kuseberangi; bahkan aku rela mengganti nyawamu dengan nyawaku. Biarlah kau
hidup seribu tahun lagi...Selanjutnya teruskan sendiri. Tapi masalahnya
ungkapan-ungkapan indah itu dalam pengalaman perjalanan cinta sebagian orang
hanya diungkapkan pada saat pacaran saja. Kalau sudah menikah ungkapannya bisa
berbeda 180 derajat. Saya pribadi tidak berani mengatakan atau menjastivikasi
apakah ini sebagian besar atau sebagian kecil orang. Tapi tentunya kita bisa
melihat dalam realita nyata yang acap kali terjadi di sekitar kita. Salah satu
contoh kasus yang sedang ramai di infotaiment adalah perihal ayu ting-ting dan
enji. Ketika pacaran ayu ting-ting merasakan begitu disanjung, sama seperti
satu judul sinetron lawas yang pernah ada di Indosiar: “Tersanjung.” Tapi
beberapa lama setelah menikah justru dia merasakan perbedaan sikap dari
laki-laki yang sudah menjadi suaminya ini. Sehingga pada akhirnya mereka pun
berpisah dan sedang berjalan dalam mengurus proses perceraian. Tentunya hal
seperti ini diharapkan tidak terjadi dalam kehidupan rumah tangga dan keluarga
Kristen, terutama juga dalam kehidupan kita pribadi lepas pribadi. Karena
menurut hemat saya sebagaimana tergambarkan juga dalam kesaksian Alkitab,
Kekristenan sangat menjunjung tinggi kesetiaan. Bahkan kesetiaan antar
pasangan; baik istri kepada suami maupun suami kepada istri harus dilandasi dan
merupakan aplikasi dan implikasi dari kesetiaan kepada Tuhan. Makanya dalam
kekristenan sama sekali tidak dikenal istilah poligami atau bahkan poliandri.
Kekristenan sangat menjunjung tinggi azaz pernikahan monogami. Satu pria untuk
satu wanita; dan satu wanita untuk satu pria. Kekristenan sebagaimana Tuhan
berfirman di dalam Alkitab sangat membenci dan tidak pernah menyetujui dan
melegalkan perceraian. Menjadikan perceraian sebagai pilihan pun tidak. Karena
jelas tertulis bahwa apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan
oleh manusia. Oleh karena itu bagi para suami maupun para istri, setialah
dengan pasangan hidupmu sampai maut memisahkan. Itu sudah sangat jelas dan
tidak bisa terbantahkan. Lebih dalam lagi mengenai hubungan suami dan istri,
meskipun Alkitab mengungkapkan kepada kaum istri untuk tunduk kepada suami
seperti kepada Tuhan, namun dalam pola hubungan antara suami dan istri, sangat
tidak diperbolehkan terjadinya praktek-praktek perendahan derajat istri di mata
suami, maupun sebaliknya suami di mata istri. Dalam istilah kerennya disebut
subordinasi. Yang harus terjadi adalah antara suami dan istri haruslah saling
melengkapi satu dengan yang lain. Suami menjadi teladan bagi istrinya. Dan
istri menjadi penolong yang sepadan bagi suami. Acap kali dalam realita rumah
tangga dimana-mana tempat, bahkan mungkin juga dalam realita rumah tangga
Kristen, suami menjadi kepala rumah tangga yang otoriter dan memerintah istri
dengan tangan besi tanpa bisa dibantah dan dikompromikan secara bersama-sama
antara keduanya. Suami acap kali melarang istrinya untuk bekerja dan hanya
boleh menjadi ibu rumah tangga dengan alasan ini dan itu, padahal sesungguhnya
suami tidak ingin merasa tersaingi oleh istrinya. Apalagi kalau suami menyadari
bahwa istrinya sesungguhnya lebih smart dan bisa memperoleh kedudukan bahkan
gaji yang lebih tinggi dari suaminya. Makanya banyak rumah tangga (bahkan
mungkin juga rumah tangga Kristen) berantakan bahkan cenderung hancur karena
masalah kecemburuan sosial antara suami dan istri. Tapi tentunya menyikapi hal
tersebut, kita perlu kembali kepada prinsip kebenaran Alkitab. Pun di dalam
rumah tangga dimana tadi dikatakan bahwa antara suami dan istri harus saling
memperlengkapi dan bekerjasama, maka tentunya perlu ada kompromi atau
kesepakatan bersama dalam mengurus rumah tangga. Memang pengambil keputusan
tertinggi dalam rumah tangga adalah suami sebagai nahkoda dalam satu kapal yang
bernama rumah tangga tersebut. Namun sebagai nahkoda yang bijak, maka suami pun
perlu mendengarkan masukan dari istri. Suami pun perlu menghargai eksistensi
istrinya, termasuk ketika ia mau bekerja atas izin suami untuk sama-sama
menunjang kehidupan ekonomi keluarga.
Saudara-saudara, dengan berbagai
prinsip dan pemahaman yang dianut dalam kekristenan mengenai hubungan antara
dua insan pria dan wanita yang saling mencinta sampai akhirnya menjadi suami
dan istri dan membentuk sebuah keluarga, tentu hal yang sama diharapkan oleh
Tuhan kepada tiap-tiap kita yang telah Ia jadikan sebagai umat pilihan-Nya; dan
yang telah siap sedia meresponi panggilan dan pemilihan Tuhan atas dirinya atau
bahkan diri kita masing-masing maupun secara bersama-sama sebagai gereja atau
komunitas orang percaya. Yang diharapkan oleh Tuhan tentu tidak lain dan tidak
bukan adalah juga kesetiaan yang diapresiasikan melalui komitmen penuh secara
konsisten bahwa kumau cinta Yesus selamanya. Bahkan meskipun badai silih
berganti datang dalam hidupku, ku mau dan ku tetap cinta Yesus selamanya.
Bahkan aku mau memberi yang terbaik untuk Tuhan demi kemuliaan nama-Nya sebagai
respon atas rasa syukur kita karena Dia sudah lebih dulu memberi yang terbaik
kepadaku. Dia yang lebih dulu memanggil dan memilih aku. Dia yang menebus aku
dan mengangkat aku dari lobang kubur. Bahkan Ia menganugerahkan kepadaku
keselamatan dan hidup kekal. Tidak ada alasan bagiku untuk tidak memberi yang
terbaik baginya. Itulah yang sesungguhnya dan seharusnya menjadi komitmen dan
sikap hati kita kepada Tuhan. Dengan komitmen dan sikap hati yang demikian,
maka pastilah akan tergambar dan terbukti juga dalam sikap dan tindakan hidup
kita secara nyata.
Kalau berbicara tentang cinta saudara-saudara, berarti
kita berbicara tentang hati. Dalam bahasa Yunani disebut kardia. Makanya kita
kenal istilah kardiologi atau ilmu yang menangani soal hati dan penyakit dalam.
Kenapa cinta selalu dikaitkan dengan hati saudara-saudara? Karena Tuhan
menumbuhkan cinta adalah di dalam hati kita. Dan kalau kita mau melihat kisah
dalam Kejadian 4:1-16 yang menjadi bagian bacaan kita saat ini, dapat kita
lihat saudara-saudara bahwa Kain dan Habel sama-sama mempersembahkan korban
persembahan kepada Tuhan. Kain mempersembahkan sebagian dari hasil tanah
sebagai korban persembahan kepada Tuhan. Sementara Habel mempersembahkan anak
sulung kambing dombanya, yakni lemak-lemaknya. Hal ini seiring sejalan dengan
latar belakang keduanya yang berbeda sekalipun mereka kakak beradik. Kain
adalah seorang petani. Sementara Habel adalah seorang gembala kambing domba.
Persoalannya kemudian, ketika keduanya sama-sama mempersembahkan korban
persembahan kepada Tuhan dan keduanya pasti sama-sama merasa sudah memberi yang
terbaik untuk Tuhan melalui persembahannya, namun ternyata Tuhan lebih
mengindahkan korban persembahan Habel. Sementara korban persembahan Kain tidak
diindahkan Tuhan. Hal itu membuat hati
Kain menjadi sangat panas dan mukanya muram. Padahal, kalau kita mau berpikir
secara sederhana saudara-saudara; siapa yang berhak menentukan mana persembahan
yang diterima dan ditolak dalam konteks kisah ini? Tentunya memang Tuhan
sendiri yang berhak menentukan karena persembahan itu adalah untuk Tuhan. Jadi
dalam pikiran sederhana kita saya ingin bertanya: berhakkah Kain marah atas
penolakan itu? Jawabannya tentu tidak. Tapi melalui peristiwa ini, Tuhan dapat
benar-benar membuktikan siapa sebenarnya Kain dan siapa Habel. Bahkan
sesungguhnya sejak awal mereka Tuhan ciptakan, Tuhan sudah tahu dan kenal siapa
mereka. Demikian juga dengan kita saudara-saudara. Kalau mau bicara lebih
global lagi, seluruh umat manusia yang Tuhan ciptakan, Tuhan tahu dan kenal
sedalam-dalamnya tentang manusia ciptaan-Nya. Pertanyaannya: apakah ada satu
manusia pun di muka bumi ini yang bukan merupakan ciptaan Tuhan? Pengembangan
dari monyet mungkin seperti kata Charles Darwin? Dengan iman sesuai kesaksian
Alkitab kita dapat mengatakan bahwa semua manusia adalah ciptaan Tuhan dan
dicipta serupa dan segambar dengan Dia. Dicipta menurut citra Allah. Sehingga
pastilah Tuhan mengenal seluruh umat manusia sedalam-dalamnya, termasuk juga
hatinya Tuhan kenal. Tuhan tahu dengan benar dan pasti. Karena Allah kita
adalah Allah pencipta. Allah kita adalah Allah yang maha tahu. Tidak ada satu
hal pun yang dapat tersembunyi daripada-Nya. Termasuk juga kondisi di dalam
hati Kain yang sedang panas karena penolakan Tuhan itu. Terlebih lagi ketika
kepanasan hati itu membuahkan sebuah tindakan dimana Kain membunuh Habel. Hal
ini menunjukkan kepada kita bahwa satu kejahatan pasti akan membuahkan
kejahatan-kejahatan yang lain. Terbukti juga ketika Tuhan bertanya kepada Kain
“Dimana Habel adikmu itu?” Maka Kain menjawabnya dengan kebohongan. Kain
berkata kepada Tuhan “Aku tidak tahu! Apakah aku penjaga adikku?” Padahal
logikanya seorang kakak memang sepatutnya menjaga adiknya. Dengan demikian
kakak beradik itu haruslah saling menjaga. Atas jawaban Kain itu Tuhan
mengungkapkan sebuah kebenaran yang tidak bisa terbantahkan, bahwa darah Habel
berteriak kepada Tuhan dari tanah, sehingga Tuhan pun mengutuk Kain. Dalam ayat
yang ke-11 dan ke-12 digambarkan bagaimana Tuhan mengutuk Kain sedemikian.
Bahkan dalam perspektif Kain yang tercatat dalam ayat ke-13 ia berkata:
hukumanku itu lebih besar dari apa yang dapat kutanggung. Namun itulah
konsekuensi dosa saudara-saudara. Alkitab menggambarkan bahwa konsekuensi dosa
amat sangat besar, yaitu maut. Namun dalam bagian bacaan kita digambarkan bahwa
Tuhan masih berbelas kasihan kepada Kain meskipun Tuhan tahu kesalahan Kain
amatlah besar. Tuhan berfirman kepada Kain: sekali-kali ia tidak akan mati
dibunuh. Karena barangsiapa membunuh Kain akan dibalaskan kepadanya tujuh kali
lipat. Kemudian Tuhan menaruh tanda pada Kain supaya ia jangan dibunuh oleh
siapa pun yang bertemu dengan dia.
Fakta mengenai Kain ini tentunya tidak serta merta
menjadi contoh bagi kita tentang pembiaran dan pelegitimasian Allah terhadap
tindakan kejahatan. Bahkan Alkitab menegaskan kepada kita agar kita jangan
sekali-kali lagi menjadi hamba dosa melainkan hamba kebenaran. Terlebih bagi
tiap-tiap kita yang telah menjadi percaya, dipilih dan ditebus Tuhan dari dosa.
Namun fakta ini ingin menunjukkan tentang betapa berbelas kasihannya Tuhan
kepada Kain. Demikian juga Tuhan ingin menyatakan belas kasih-Nya kepada kita
saat ini. Siapapun kita, apapun persoalan dan pergumulan hidup kita, seberat
apapun itu, mari kita datang kepada Tuhan. Kita ungkapkan semua di hadapan
Tuhan. Mari kita mengaku bahwa sesungguhnya kita belum mampu untuk memberi yang
terbaik bagi Tuhan sebagai wujud syukur kita bahwa Tuhan sudah memberi yang terbaik
bagi kita. Mari kita mengakui dan mohon ampun atas segala salah dan dosa kita.
Percayalah bahwa Ia setia dan adil bagi mereka yang mau mengakui salah dan
dosanya dengan penuh kejujuran dan ketulusan serta dengan sungguh-sungguh
bertobat kepadaNya. Mari kita mengambil waktu untuk merekomitmen hati kita dan
berkata dengan sungguh di hadapan Tuhan: Aku ingin bangkit lagi. Aku ingin
lebih sungguh lagi dalam mengungkapkan syukurku kepada Tuhan dan memberi yang
terbaik bagi kemuliaan nama Tuhan. Tuhan sungguh tidak berubah dari dulu,
sekarang dan selamanya. Ia adalah Allah yang penuh kasih. Dan Ia menginginkan
kita mengasihi Dia dengan sungguh dan lebih sungguh lagi senantiasa. Sungguh,
Tuhan mengasihi dan memberkati kita. Amin.
Penutup
“SUDAHKAH
YANG TERBAIK KUBERIKAN” (NKB 199).