CATATANKU ERICKTJONG adalah blog yang berisi tentang catatan reflektif spiritual dan catatan-catatan kritis mengenai berbagai-bagai pokok persoalan.
Sabtu, 16 April 2016
MENGAPA ORANG HIDUP MENGELUH? (RATAPAN 3:39-48)
Saudara-saudara yang terkasih dalam Tuhan Yesus Kristus, kita baru saja melalui peringatan dan perayaan Paskah. Dan di dalamnya kita mengetahui bahwa Paskah membawa pengharapan. Pengharapan akan keselamatan dan hidup kekal bersama dengan Tuhan. Ya, karena Allah kita adalah Allah yang hidup. Dan sbab Dia hidup maka ada hari esok. Sbab Dia hidup kita tidak gentar. Karena kita tahu Dia pegang hari esok. Hidup jadi berarti sbab Dia hidup. Itulah keyakinan iman kita tentang Allah di dalam Yesus Kristus yang telah bangkit dan hidup. Tapi pada kenyataannya, ketika kita melihat dunia sekitar kita maka kita dapat melihat masih banyak orang yang belum menemukan pengharapan dan hidup mengeluh. Bahkan tidak jarang orang kristen pun masih banyak yang hidup mengeluh seakan tidak ada pengharapan di dalam dirinya. Dengan kata lain ada begitu banyak orang menjadi hilang harapan. Dengan demikian mereka hidup dalam kehampaan, kesedihan dan penuh dengan keluhan. Sebagaimana tema kita saat ini “Mengapa Orang Hidup Mengeluh?”
Saudara-saudara, dengan tema ini apakah berarti mengeluh adalah sesuatu yang salah? Tentu tidak saudara. Mengeluh adalah suatu hal yang sangat manusiawi. Coba perhatikan kalau kita sedang kelelahan misalnya. Pasti kita akan mengeluh: “Aduh, capek nih.” Perhatikan juga kalau kita sedang kesakitan. Pasti kita akan mengeluh dan mengaduh: “Aduh, sakit.” Jadi mengeluh bukanlah sesuatu yang salah dan keliru saudara. Tetapi yang Alkitab inginkan adalah biarlah setiap orang mengeluh tentang dosanya.
Saudara-saudara, kalau kita perhatikan secara seksama konteks Kitab Ratapan ini, maka kita akan menemukan bahwa kitab ini dimulai dengan kisah mengenai keruntuhan dan kesunyian Yerusalem, dimana di sana digambarkan mengenai betapa terpencilnya kota itu yang dahulu ramai. Laksana seorang jandalah ia yang dahulu agung diantara bangsa-bangsa. Yang dahulu ratu diantara kota-kota, sekarang menjadi jajahan. Pada malam hari tersedu-sedu ia menangis. Air matanya bercucuran di pipi. Dari semua kekasihnya tak ada seorang pun yang menghibur dia. Semua temannya mengkhianatinya. Mereka menjadi seterunya. Yehuda telah ditinggalkan penduduknya karena sengsara dan karena perbudakan yang besar. Ia tinggal di tengah bangsa-bangsa namun tidak mendapat ketentraman. Siapa saja yang menyerang dapat memasukinya pada saat ia terdesak. Jalan-jalan ke Sion diliputi dukacita karena pengunjung-pengunjung perayaan tiada. Sunyi senyaplah segala pintu gerbangnya. Berkeluh kesahlah imam-imamnya; dan seterusnya. Kejayaan Yerusalem tinggallah kenangan berganti derita dan sengsara. Kenajisannya melekat pada ujung kainnya dan ia tidak berpkir akan akhirnya dimana sangatlah dalam ia jatuh. Baru pada saat itulah ia berseru-seru kepada Tuhan: “ Ya Tuhan, lihatlah sengsaraku, karena si seteru membesarkan dirinya!” Seperti itulah gambaran kebobrokan dan kehancuran Yerusalem.
Kalau kita melihat gambaran ini saudara, maka memang kita akan melihat ketiadaan harapan. Yang ada hanyalah kepastian kebinasaan. Karena memang upah dosa adalah maut. Makanya tidak heran kalau kitab ini menekankan tentang pentingnya setiap orang mengeluh akan dosa-dosanya.
Saudara-saudara, ajakan itu pun ditujukan juga kepada kita saat ini. Marilah kita mengeluh akan dosa-dosa kita. Marilah kita menyelidiki dan memeriksa hidup kita dan berpaling kepada Tuhan. Marilah kita mengangkat hati dan tangan kita kepada Allah di Sorga. Itulah yang terpenting untuk kita lakukan dibandingkan setiap keluhan-keluhan karena pencobaan biasa yang kita hadapi dalam hidup ini.
Saudara-saudara, melalui perenungan ini biarlah kiranya kita boleh menjadikan momentum Paskah yang baru saja kita lalui bersama untuk menjadi momentum dimana kita lebih lagi memeriksa diri kita dan bertanya ke dalam diri kita pribadi lepas pribadi: Sudahkah yang terbaik kuberikan kepada Tuhan? Sudahkah hidupku sejauh ini sesuai dan berkenan kepada Tuhan? Sudahkah aku benar-benar berserah diri dan berpasrah diri penuh kepada Tuhan di balik setiap usaha yang aku lakukan dalam hidup ini? Sudahkah aku benar-benar menyenangkan hati Tuhan? Sudahkah aku benar-benar mempersembahkan diriku sebagai persembahan yang hidup, kudus dan berkenan kepada Allah sebagai bukti ibadahku yang sejati? Baiklah kita menjawab pertanyaan-pertanyaan itu secara pribadi. Baiklah kita menjadikannya sebagai bahan perenungan dan permenungan di sepanjang kehidupan kita. Dengan demikian, pemberitaan Firman Tuhan saat ini boleh berakhir. Tetapi gaungnya boleh terus kita rasakan dan alami di dalam sepanjang kehidupan kita senantiasa. Tuhan memberkati kita sekalian. Amin.
Langganan:
Postingan (Atom)