Rabu, 25 Mei 2016

KEMAH SUCI SEBAGAI TEMPAT KUDUS: APA DAN BAGAIMANA?

Keluaran 40:1-16 Saudara-saudara, tentu banyak dari antara kita yang masih ingat satu slogan yang berkata: “Rumahku, Istanaku” bukan? Dan pasti setiap kita akan mencoba mengaplikasikan tempat tinggal kita sebagaimana apa yang kita impikan dan idamkan menurut gambaran ideal kita tentang apa definisi rumah bagi kita. Makanya yang namanya rumah impian masing-masing orang pasti akan berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain, karena perspektifnya pun berbeda antar masing-masing orang. Tapi satu hal yang pasti, keinginan tiap-tiap orang pasti sama. Kita tentu ingin hidup dengan nyaman di rumah kita sendiri. Kita tentu ingin hidup dengan sehat, penuh sukacita dan damai sejahtera di rumah kita sendiri. Tidak akan ada yang bisa memungkiri fakta tersebut. Makanya bagi orang-orang yang tidak merasa nyaman di rumahnya sendiri seringkali disebut broken home. Kenapa broken home? Karena kondisi itu adalah kondisi yang di luar idealisme atau yang sewajarnya terjadi tentang impian dan fakta ideal sebuah rumah tinggal bagi kita dan bagi kebanyakan orang. Dan karena yang ideal sesungguhnya telah mengalami kerusakan. Saudara-saudara, hal yang sama digambarkan juga dalam bagian bacaan kita saat ini. Dengan jelas judul perikop dalam bagian bacaan kita menyebutkan tentang Musa mendirikan kemah suci. Dan yang perlu kita perhatikan saudara-saudara ialah bahwa Musa mendirikan kemah suci bukan karena keinginannya sendiri melainkan karena Tuhan yang berfirman kepadanya. Jadi dengan demikian sesungguhnya Musa sedang mewujudnyatakan keinginan dan kehendak Tuhan. Dengan kata lain Musa sedang menjadi perpanjangan tangan Tuhan untuk mewujudkan visi dan misi Tuhan, terutama dalam hal membangun persekutuan ibadah. Karena memang yang Tuhan mau untuk kita lakukan adalah agar kita tidak sekali-kali pun meninggalkan persekutuan ibadah. Dan agar kita terus bertekun dalam doa dan pengajaran rasul-rasul. Kenapa demikian? Karena memang kita sebagai orang-orang percaya yang tidak lain adalah bejananya Tuhan perlu dan harus terus diisi oleh kebenaran Firman Tuhan. Karena Tuhan tidak mau kita menjadi bejana-bejana yang kosong. Saudara-saudara, ketika Tuhan memerintahkan kepada Musa untuk membuat kemah suci atau kemah pertemuan, maka kita bisa saksikan bersama bahwa Tuhan tidak tinggal diam. Tuhan turun tangan langsung dalam detail pengaturan kemah suci tersebut. Dengan kata lain Tuhan sendirilah arsiteknya sementara Musa dan orang-orang yang terlibat di dalamnya merupakan pelaksana. Bahkan sesungguhnya pembangunan kemah suci atau kemah pertemuan ini membutuhkan proses yang tidak sebentar. Makanya kalau saudara-saudara perhatikan, kisah mengenai tahap awal pendirian kemah suci sudah dimulai sejak Keluaran 35:4 dan seterusnya sampai dengan pada bagian bacaan kita saat ini. Dan kalau kita perhatikan secara seksama perintah untuk mendirikan kemah suci didahului dengan perintah untuk menguduskan hari sabat (lihat Keluaran 35:1-3). Apa pentingnya menguduskan hari sabat? Tidak lain adalah karena itu merupakan perintah Tuhan, dan sudah barang tentu kita sebagai hambanya harus taat. Kalau demikian apa pentingnya dan apa kaitannya antara menguduskan hari sabat dengan membuat kemah suci sebagai tempat kudus? Tentu jawabannya tidak lain adalah karena Tuhan kita adalah Tuhan yang kudus, sehingga yang kudus tidak bisa bercampur baur dengan apa yang najis; sama halnya seperti gelap tidak bisa bersatu dengan terang (bdk.Keluaran 3:4-5). Dalam ayat tersebut dengan jelas dikatakan bahwa ketika dilihat Tuhan bahwa Musa menyimpang untuk memeriksa mengapakah semak duri itu tidak terbakar, berserulah Allah dari tengah-tengah semak duri itu kepada Musa: “Musa, Musa! Dan Musa menjawab “Ya, Allah.” Lalu Allah berfirman: “Janganlah datang dekat-dekat; tanggalkanlah kasutmu dari kakimu, sebab tempat dimana engkau berdiri itu adalah tanah yang kudus.” Ini adalah kisah dimana Allah pertama kali memperkenalkan diri kepada Musa. Bisa kita bayangkan saudara betapa kudusnya Allah sampai sedemikian adanya. Makanya tidak heran ketika Allah memerintahkan kepada Musa untuk mendirikan kemah suci atau kemah pertemuan, maka pendiriannya pun harus dipenuhi dengan kekudusan. Karena memang kemah suci atau kemah pertemuan itu difungsikan Allah sebagai tempat kudus. Kalau kita mau merujuk pada kata “Qadosy” dalam bahasa Ibrani berarti dipisahkan dari yang lain. Jadi memang kemah suci atau kemah pertemuan itu diperintahkan Tuhan untuk dibangun sebagai tempat yang dikhususkan atau dipisahkan dari tempat-tempat lain pada umumnya. Apa implikasinya buat kita saudara? Kita tentu tahu bahwa gereja bukanlah gedungnya. Walaupun memang kita perlu menaruh penghargaan dan penghormatan yang tinggi terhadap gedung gereja sebagai sarana beribadah yang telah diizinkan Tuhan untuk ada di tengah-tengah kita dan memperlengkapi kehidupan persekutuan kita. Oleh karena itu implikasi utama bagi kita adalah bahwa dalam keberadaan kita sebagai gereja (persekutuan orang percaya), dan dalam keberadaan kita sebagai bait-Nya yang kudus, pun dalam keberadaan kita sebagai umat pilihan Allah, maka kita perlu terus berupaya keras untuk menjaga dan memelihara kekudusan dan kesempurnaan hidup kita sebagaimana Dia, Tuhan Allah kita kudus dan sempurna. Untuk itu kita perlu diubahkan oleh Tuhan menjadi ciptaan yang baru. Sebab yang lama telah berlalu dan yang baru sudah datang. Kita juga perlu terus bertekad bulat dan berupaya penuh untuk tidak menjadi serupa dengan dunia ini melainkan berubah menurut pembaharuan budi kita. Itulah yang Tuhan inginkan untuk kita lakukan (bdk.Kisah Para Rasul 7:49-51). DAFTAR PERTANYAAN: 1. Apa yang dapat kita pelajari dari bagian bacaan kita saat ini dan dari uraian di atas? 2. Dari uraian di atas, apa implikasinya dalam hal perubahan paradigma kita tentang gereja dan persekutuan orang percaya? 3. Dari uraian di atas, apa dan bagaimana pandangan saudara tentang gereja sebagai rumah Tuhan yang kudus? 4. Sudah seberapa jauh saudara berjaga dan berdoa dalam upaya menjaga kekudusan dan kesempurnaan hidup saudara sebagaimana Tuhan Allah kita kudus dan sempurna? 5. Apa halangan atau hambatan terbesar kita dalam upaya menjaga kekudusan dan kesempurnaan hidup kita?