Sabtu, 19 April 2014

PAK DAN PWG DALAM SEJARAH: BERDASARKAN BUKU AJARLAH MEREKA MELAKUKAN

                                                            
RINGKASAN DAN URAIAN
                Buku ini secara garis besar memaparkan segala hal yang patut diketahui seputar Pendidikan Agama Kristen (PAK). Isi buku ini terbagi dalam tiga bagian pembahasan. Bagian pertama berisi tentang Pendidikan Agama Kristen (PAK) dan Pembinaan Warga Gereja (PWG) yang sesungguhnya keduanya saling terkait antara satu dengan yang lain. Pada kesempatan ini kita akan membahas secara khusus mengenai PAK dan PWG dalam sejarah yang terdapat di bagian pertama isi buku ini.
 Dalam uraian tulisan yang sesungguhnya merupakan orasi Dies Natalis STT Jakarta 27 September 1980 yang disusun dan disampaikan oleh Pdt.Clement Suleeman ini, sejak bagian awalnya telah dijelaskan bahwa antara PAK dan PWG saling terkait dan berkesinambungan antara keduanya. Pernyataan ini dirumuskan dalam butir-butir sidang pleno pada sidang raya DGI ke IX di Tomohon. Dalam rumusan yang keenam diungkapkan bahwa nyatalah PAK dan PWG saling jalin menjalin dan tunjang menunjang. Atau dapat juga dilihat sebagai pelayanan gerejawi yang bersinambung. PAK mulai dari pembinaan pada anak-anak, misalnya melalui Sekolah Minggu dan Pendidikan Agama Kristen di sekolah, berkelanjutan melalui Katekisasi. PWG meneruskannya pada usia muda dan dewasa, sekalipun pembatasannya tidak terlalu tajam. Dalam kaitan untuk memberi jawab pada tantangan pelayanan di Indonesia, sidang merasa perlu untuk mewujudkan suatu keterpaduan pendidikan atau pembinaan yang meliputi segala lapisan (anak, remaja, dewasa), jenis (pria, wanita) yang terwadahi dalam berbagai kegiatan gerejawi, keluarga maupun sekolah melalui suatu strategi pendekatan dan kurikulum yang terpadu.
                Dalam pergumulan Pdt Clement sendiri, beliau menggumuli dan mempertanyakan akan hal ini: benarkah PAK dapat dilihat sebagai bagian dari pelayanan gerejawi bagi semua golongan umur (lihat butir 6), sehingga timbul gagasan untuk menggantikan PAK dengan PWG? Atau bukankah justru sebaliknya, PWG adalah bagian dari PAK? Menurut Pdt Clement pergumulan inilah yang rupanya belum terealisasikan oleh Sidang Raya DGI IX sehingga diputuskan supaya Badan Pekerja Lengkap (BPL) akan mengadakan forum konsultasi antara tokoh PAK dan PWG untuk menyelesaikan masalah tersebut.
                Bagi Pdt.Clement tahun 1980 merupakan tahun yang cukup penting bagi dunia PAK pada umumnya, karena pada tahun tersebut bukan hanya merupakan HUT ke-200 Sekolah Minggu yang dimulai oleh Robert Raikes pada tahun 1780 di Gloucester, Inggris. Tahun 1980 juga merupakan peringatan 25 tahun terselenggaranya studi konferensi PAK yang berawal pada tanggal 20 Mei-10 Juni 1955 di Jalan Cipelang 8 Sukabumi. Oleh karena itu salah satu tujuan dari diterbitkannya buku Ajarlah Mereka Melakukan ini pun adalah untuk memaparkan perkembangan PAK di Indonesia selama 25 tahun, di samping juga perkembangan PWG di Indonesia dengan masalah-masalahnya.
                Kegelisahan Pdt.Clement mengenai pemahaman orang tentang PAK khususnya di Indonesia seiring sejalan dengan perkembangan sejarahnya adalah adanya satu hal yang perlu terus diingat, yaitu bahwa PAK bukan hanya Sekolah Minggu saja dalam pengertian Indonesia yang hanya mencakup dunia kanak-kanak hingga berumur dua belas tahun, melainkan PAK mencakup seluruh kegiatan gereja dalam mendidik anggota dan calon anggotanya untuk hidup dalam kehidupan Kristen, termasuk di dalamnya remaja, pemuda, dewasa muda dan tua. Sebab Robert Raikes sendiri memulai Sekolah Minggu sebagai sekolah untuk kaum miskin dan anak-anak terlantar yang awalnya dikenal dengan nama Ragged School, dimana mereka diajar membaca, menulis dan berhitung. Setelah itu sedikit bacaan dari Alkitab, renungan, berdoa dan menyanyi.
                Secara garis besar Pdt Clement mencatat ciri khas kelas Sekolah Minggu adalah demikian: 1. Ibadah pembukaan oleh Superintendent (semacam ketua Sekolah Minggu) dengan tekanan pada bernyanyi serta kata-kata pendahuluan. 2. Pemisahan ke dalam kelas untuk 20-25 menit. 3. Penutupan juga oleh Superintendent yang menambahkan beberapa pikiran atau komentar tentang pelajaran yang baru diperoleh, lalu diikuti dengan pembagian selebaran-selebaran, gambar dan lain-lain. 4. Perkembangan Sekolah Minggu sendiri lebih memperhatikan pertobatan daripada pendidikan. Sistem kurikulum yang seragam untuk semua umur yang dimulai sejak 1872 lebih mempermudah persiapannya karena bahan Alkitabnya sama, baik untuk anak usia empat tahun maupun orang dewasa. Pendekatan Alkitab terjadi secara harafiah karena gerakan injili pada akhir abad ke-19 sudah berwujud fundamentalistis. Dengan demikian berpengaruh juga terhadap tokoh-tokoh gerakan Sekolah Minggu yang menjadi bermusuhan terhadap interpretasi Alkitab yang berbentuk historis kritis. Sebagai akibat dari gerakan Liberalisme yang dipelopori oleh Schleiermacher, Ritschl dan Hegel, timbullah suatu kepercayaan yang optimistis mengenai kebaikan  manusia dan kesempurnaan masyarakat yang dapat dicapai melalui usaha sendiri. Dengan demikian orang mulai bosan dengan teologi yang mengatakan bahwa anak-anak adalah mahluk yang berdosa; yang bila tidak bertobat akan masuk neraka. Dengan kata lain Sekolah Minggu dalam bentuk lama tidak lagi dapat diterima. Hal ini menyebabkan keanggotaan jemaat mulai terbagi antara kaum liberal dan kaum yang menekankan pertobatan, atau yang biasa dikenal dengan sebutan golongan modernis dan golongan fundamentalis.  Semua ketidakpuasan ini akhirnya dicetuskan dalam sebuah konferensi besar di Chicago tahun 1903 yang berhasil membentuk Religious Education Association yang memberi suatu tradisi baru dalam Sekolah Minggu, yaitu pemakaian Alkitab yang lebih ilmiah. Namun keberadaannya tidak meniadakan skisma atau gep yang terjadi antara kaum modernis dan fundamentalis. Bahkan dalam semangatnya yang menekankan pendidikan yang lebih ilmiah termasuk dalam pendidikan agama membuat lembaga ini terseret ke dalam cap sebagai bagian dari kelompok liberal, dimana kelompok evangelical menganggapnya sebagai suatu bahaya terhadap eksistensi Sekolah Minggu dan musuh terhadap Injil. Yang menarik adalah bahwa gerakan baru lebih menyukai istilah religius daripada kristen. Salah seorang yang mewakili gerakan ini, Chave dalam bukunya A Functional Approach To Religious Education terbitan tahun 1947 berpendapat bahwa percaya kepada Allah sudah dianggap ketinggalan zaman dan semacam tahyul. Maka Alkitab yang penuh dengan hal-hal yang supranatural tidak lagi dapat digunakan dalam pendidikan keagamaan. Bahkan dapat menyesatkan pikiran orang. Kita sekarang ini harus berpaling kepada para ahli ilmu jiwa, ilmu sosiologi, ahli sejarah yang meneliti secara ilmiah hidup manusia agar kita mengetahui kebenaran apa yang ada pada diri manusia. Oleh karena itu menurut gerakan baru ini pendidikan keagamaan tidak dapat berpaling ke belakang, baik mengenai isi, metode dan dorongan melainkan harus dicarinya dalam keadaan yang bertumbuh sekarang ini. Dengan kata lain mereka berpendapat bahwa pendidikan keagamaan tidak lagi dapat menoleh kepada para nabi, rasul maupun pesan dan ajaran Yesus Kristus. Dengan demikian yang muncul dari gerakan baru ini adalah ajaran palsu yang bertentangan dengan Alkitab. Dampaknya sangat mungkin kita rasakan hingga kini, yaitu dengan adanya kaum liberalisme dan evangelistik. Oleh karena itu menurut saya (EST), menjadi hal yang penting bagi kita untuk menguji segala sesuatu sebagaimana kata Alkitab termasuk di dalamnya menguji tiap-tiap ajaran yang kita terima dengan tolak ukur sola fide, sola scriptura dan sola gratia. Perhatikan kata sola scriptura yang bergaris bawah. Sebagai orang percaya Alkitab perlu menjadi satu-satunya buku yang kita pegang karena Alkitab adalah buku yang berisi Firman Allah. Bahkan Alkitab adalah Firman Allah itu sendiri, dimana Firman Allah adalah sumber kebenaran dan kebenaran sejati. Melalui Alkitablah kita dapat memperoleh jawaban tentang berbagai misteri yang dibukakan-Nya bagi kita.
                Dalam perkembangannya muncullah suatu periode baru dalam teologi yang dinamai Period of Theologycal Recovery. Sebuah kesadaran baru dalam dunia teologi yang tidak bermaksud mencari jalan tengah antara kaum modernis dan fundamentalis melainkan sebagai suatu pendekatan baru terhadap masalah PAK. Justru dorongan ini datang lebih banyak dari anggota jemaat karena mereka banyak berhadapan dengan kepercayaan yang bukan Kristen sehingga mereka menuntut jawaban-jawaban yang sederhana tentang perbedaan mutlak yang ada antara kepercayaan Kristen dengan kepercayaan-kepercayaan lainnya. Pada tahun 1944, International Council of Christian Education mengakui adanya suatu perubahan lalu mengangkat sebuah panitia studi untuk meneliti tempat kedudukan teologi dan PAK. Randolph Crump Miller  mengakui bahwa teologi memang mempunyai tempat dalam PAK. Kuncinya bagi PAK adalah bahwa teologi merupakan unsur yang hilang. Karena itu para ahli pendidik harus menjadi ahli teologi agar tidak menyimpang dalam proses pendidikannya kepada nara didik. Dan sebaliknya para ahli teologi harus menjadi ahli pendidik. Dalam perkembangannya terus diupayakan perubahan ke arah yang lebih baik dan semakin baik terhadap tradisi gereja termasuk pelaksanaan tradisi-tradisi di Sekolah Minggu sekalipun tidak mudah. Perhatian lebih mendalam terhadap gerakan Sekolah Minggu mulai semakin mendapat perhatian khususnya setelah Perang Dunia II, khususnya dari kalangan teolog dan rohaniawan. Karena bagaimanapun juga tugas PAK tetap merupakan tugas dan panggilan gereja yang tidak mungkin diserahkan begitu saja kepada kaum awam. Atas dasar itulah PAK bukan hanya mempermasalahkan soal-soal pedagogik, didaktik dan metodik melainkan juga teologi apakah yang melatarbelakangi cerita dan pelajaran yang diberikan kepada anak didik. Menurut Pdt Clement hal ini perlu dikemukakan berhubung gereja-gereja di Indonesia sering bersikap acuh tak acuh terhadap bahan Sekolah Minggu. Berdasarkan pengalaman saya (EST) selama melayani di lingkungan GKI, maka GKI dengan Binawarganya telah berupaya keras untuk menunjang kemapanan bahan-bahan pembinaan jemaat termasuk Sekolah Minggu. Dan besar harapan saya (Erick) agar Binawarga tidak hanya menjadi aset GKI, tetapi juga dapat memfasilitasi kebutuhan gereja-gereja di Indonesia akan bahan pembinaan, khususnya Sekolah Minggu. Dengan demikian semakin banyak orang yang dapat terberkati melalui kemapanan institusi atau lembaga gereja kita, termasuk Binawarga.
                Kembali pada topik bahasan mengenai PAK dan PWG, dimana sejak awal sudah dipaparkan mengenai adanya keterkaitan erat antara PAK dan PWG, maka amatlah bijaksana dan prinsipil bilamana WCCE (Dewan PAK se-Dunia) akhirnya digabung menjadi satu dengan WCC (DGD) pada tahun 1971 di Lima, Peru. Dalam ungkapan kesepakatan Sidang Raya WCC  tersebut dinyatakanlah bahwa selaku pendidik-pendidik Kristen mendidik tidaklah berarti mengajar melainkan lebih banyak mengikatkan diri pada suatu realita yang ada di dalam dan dengan manusia; yaitu belajar hidup, menganjurkan sikap kreatif baik bagi diri sendiri maupun orang lain, dan bersama Allah dan kuasa-Nya membebaskan umat manusia dari ikatan-ikatan yang menghalangi dia dalam memperkembangkan gambar Allah. Dengan rumusan ini maka terjadi perubahan radikal mengenai tujuan, isi dan metode/tugas pendidikan kita. Bertolak dari sini maka selama 25 tahun ke depan bahkan hingga saat ini, khususnya PAK di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat.
                Secara umum berdasarkan kebenaran Alkitab sesungguhnya PAK dan PWG memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk memperlengkapi orang kudus b agi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus sampai kita semua telah mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus sehingga kita tidak lagi mudah disesatkan (bdk.Efesus 4:12-14). Namun justru di Negeri Belanda kedua istilah ini agak tegas dibedakan. Hal ini mungkin disebabkan karena latar belakang sejarahnya dimana terutama pembinaan warga sudah ada dalam bentuk Volksontwikkeling atau Pengembangan Rakyat yang mulai dirintis sejak tahun 1794 oleh Maatschappij tot Nut van’t Algemeen. Kemudian disusul dengan pembentukan universitas atau perguruan tinggi untuk rakyat. Semua itu sebenarnya di bawah pengaruh pencerahan (Aufklarung) yang mempunyai cita-cita humanistis dengan maksud supaya dengan adanya pengetahuan maka rakyat kelak menjadi baik.
                Setelah Perang Dunia II orang sibuk dengan pembangunan. Gereja pun dinilai lebih bersifat introvert (hanya melayani ke dalam). Pada tahun 1945 Gereja Hervormd di Belanda tergerak untuk mengadakan pembinaan bagi warganya dalam bentuk konkret yaitu Institut Kerk en Wereld yang sebenarnya bermaksud untuk mencapai pembangunan jemaat dan pendewasaan anggota. Namun dampaknya justru timbul pertentangan antara gereja dan dunia yang saat itu banyak dipengaruhi oleh kelompok sosialis komunis. Dengan kata lain gereja menjadi eksklusif bagi dirinya sendiri. Hal itu juga mempengaruhi pertumbuhan gereja dan pertam bahan anggota jemaat. Lain halnya dengan Gereja Gereformeerd yang dengan jelas mengadakan pembinaan dalam bentuk Toerustingswerk dan betul-betul bertujuan untuk memperlengkapi anggota jemaat untuk tugas-tugas tertentu dalam pekerjaan jemaat, misalnya pemimpin pemuda, guru-guru Sekolah Minggu, Majelis Jemaat, dan lain-lain.
                Pembinaan warga gereja dalam arti toerusting sebenarnya tidak lain adalah suatu bentuk belajar. Namun belajar secara Alkitabiah selalu berwujud perbuatan. Belajar dan berbuat tidak boleh dipisahkan, karena belajar dalam Alkitab selalu berarti mengikut Yesus. Dengan kata lain dalam mengikut Yesus perlu ada upaya untuk belajar (bdk.Matius 28:20; Yakobus 2). Dalam pembinaan dengan motivasi yang demikian maka patut dipahami bahwa dunia adalah merupakan bagian dari cakupan penggembalaan gereja sehingga tidak lagi terjadi pemisahan antara gereja dan dunia. Adapun ciri khas PWG adalah sebagai berikut: 1. Sikap tindakan yang terbuka terhadap perubahan- perubahan yang luas dan mendalam di masyarakat; kemampuan menempatkan diri secara bertanggung jawab, dewasa, kritis dan kreatif di dalam situasi yang baru. 2. Mampu berpikir secara ekumenis dan inklusif. 3. Warga jemaat menjadi orang-orang yang bebas, yaitu bebas dari keakuan dan bebas dalam melakukan tugas pelayanan (bdk.Galatia 5:1-11 tentang kemerdekaan Kristen). 4. Warga jemaat menjadi mampu bekerja sama. 5. Warga jemaat menjadi mampu berpikir secara lugas dalam mengatasi segala perkara. 6. Adanya sikap dan semangat dialogis.

KESIMPULAN DAN REFLEKSI TEOLOGIS
                Dengan berbagai uraian di atas maka jelaslah keterkaitan erat antara PAK dan PWG dimana keduanya saling mengisi antara yang satu dengan yang lain. Dalam hal ini PAK lebih berfungsi ke arah pewarisan iman dan perbendaharaan Kristen lainnya agar supaya itu dapat diterapkan dan diwujudkan ke dalam hidup sehari-hari, sedangkan usaha PWG adalah lebih banyak ke arah melayani orang supaya ia dimungkinkan mewujudkan tugas dan panggilannya di tengah-tengah dunia dan masyarakat dimana ia berada dengan segala apa yang ada padanya.
                GKI sebagai bagian dari keutuhan gereja Tuhan dan masyarakat Indonesia serta dunia telah terlibat dan melibatkan diri dalam upaya-upaya pengembangan PAK dan PWG, dimana buah dari keikutsertaan GKI dan upaya GKI melestarikan dan melembagakan PAK dan PWG sebagai bagian dari tugas tanggung jawab gereja dapat terlihat melalui kultur budaya hidup bergereja yang terbangun dan terpelihara hingga saat ini. Demikian juga dalam peran serta GKI dalam kancah kehidupan bermasyarakat di Indonesia dan bahkan dunia, dimana GKI terus berupaya menjadi terang dan garam. GKI juga terus berupaya menjadi saksi Kristus dari Yerusalem (diri sendiri atau GKI secara internal), Yudea, Samaria bahkan sampai ke ujung bumi. Namun tiap-tiap hasil yang telah kita peroleh ini tidak seharusnya membuat kita cepat berpuas diri melainkan kita harus terus mengobarkan semangat untuk senantiasa menjawab tantangan dari Tuhan untuk menjadi saksi-Nya dan menggembalakan domba-domba-Nya dimanapun kita berada dan ditempatkan Tuhan sebagai bukti bahwa kita mengasihi Dia. Sebagaimana tema besar buletin kita saat ini, yaitu Paskah adalah kasih. Selamat Paskah. Tuhan memberkati kita sekalian.

                                                                                        Disusun oleh Erick Susanto Tjandra, S.Si (Teol) 

                                                                                                                     Jakarta, 16-17 Januari 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar