RINGKASAN DAN
URAIAN
Buku
ini secara garis besar memaparkan segala hal yang patut diketahui seputar
Pendidikan Agama Kristen (PAK). Isi buku ini terbagi dalam tiga bagian pembahasan.
Bagian pertama berisi tentang Pendidikan Agama Kristen (PAK) dan Pembinaan
Warga Gereja (PWG) yang sesungguhnya keduanya saling terkait antara satu dengan
yang lain. Pada kesempatan ini kita akan membahas secara khusus mengenai PAK
dan PWG dalam sejarah yang terdapat di bagian pertama isi buku ini.
Dalam uraian tulisan yang sesungguhnya
merupakan orasi Dies Natalis STT Jakarta 27 September 1980 yang disusun dan
disampaikan oleh Pdt.Clement Suleeman ini, sejak bagian awalnya telah
dijelaskan bahwa antara PAK dan PWG saling terkait dan berkesinambungan antara
keduanya. Pernyataan ini dirumuskan dalam butir-butir sidang pleno pada sidang
raya DGI ke IX di Tomohon. Dalam rumusan yang keenam diungkapkan bahwa nyatalah
PAK dan PWG saling jalin menjalin dan tunjang menunjang. Atau dapat juga
dilihat sebagai pelayanan gerejawi yang bersinambung. PAK mulai dari pembinaan
pada anak-anak, misalnya melalui Sekolah Minggu dan Pendidikan Agama Kristen di
sekolah, berkelanjutan melalui Katekisasi. PWG meneruskannya pada usia muda dan
dewasa, sekalipun pembatasannya tidak terlalu tajam. Dalam kaitan untuk memberi
jawab pada tantangan pelayanan di Indonesia, sidang merasa perlu untuk
mewujudkan suatu keterpaduan pendidikan atau pembinaan yang meliputi segala lapisan
(anak, remaja, dewasa), jenis (pria, wanita) yang terwadahi dalam berbagai
kegiatan gerejawi, keluarga maupun sekolah melalui suatu strategi pendekatan
dan kurikulum yang terpadu.
Dalam
pergumulan Pdt Clement sendiri, beliau menggumuli dan mempertanyakan akan hal
ini: benarkah PAK dapat dilihat sebagai bagian dari pelayanan gerejawi bagi
semua golongan umur (lihat butir 6), sehingga timbul gagasan untuk menggantikan
PAK dengan PWG? Atau bukankah justru sebaliknya, PWG adalah bagian dari PAK?
Menurut Pdt Clement pergumulan inilah yang rupanya belum terealisasikan oleh
Sidang Raya DGI IX sehingga diputuskan supaya Badan Pekerja Lengkap (BPL) akan
mengadakan forum konsultasi antara tokoh PAK dan PWG untuk menyelesaikan
masalah tersebut.
Bagi
Pdt.Clement tahun 1980 merupakan tahun yang cukup penting bagi dunia PAK pada
umumnya, karena pada tahun tersebut bukan hanya merupakan HUT ke-200 Sekolah
Minggu yang dimulai oleh Robert Raikes pada tahun 1780 di Gloucester, Inggris.
Tahun 1980 juga merupakan peringatan 25 tahun terselenggaranya studi konferensi
PAK yang berawal pada tanggal 20 Mei-10 Juni 1955 di Jalan Cipelang 8 Sukabumi.
Oleh karena itu salah satu tujuan dari diterbitkannya buku Ajarlah Mereka
Melakukan ini pun adalah untuk memaparkan perkembangan PAK di Indonesia selama
25 tahun, di samping juga perkembangan PWG di Indonesia dengan
masalah-masalahnya.
Kegelisahan
Pdt.Clement mengenai pemahaman orang tentang PAK khususnya di Indonesia seiring
sejalan dengan perkembangan sejarahnya adalah adanya satu hal yang perlu terus
diingat, yaitu bahwa PAK bukan hanya Sekolah Minggu saja dalam pengertian
Indonesia yang hanya mencakup dunia kanak-kanak hingga berumur dua belas tahun,
melainkan PAK mencakup seluruh kegiatan gereja dalam mendidik anggota dan calon
anggotanya untuk hidup dalam kehidupan Kristen, termasuk di dalamnya remaja,
pemuda, dewasa muda dan tua. Sebab Robert Raikes sendiri memulai Sekolah Minggu
sebagai sekolah untuk kaum miskin dan anak-anak terlantar yang awalnya dikenal
dengan nama Ragged School, dimana mereka diajar membaca, menulis dan berhitung.
Setelah itu sedikit bacaan dari Alkitab, renungan, berdoa dan menyanyi.
Secara
garis besar Pdt Clement mencatat ciri khas kelas Sekolah Minggu adalah
demikian: 1. Ibadah pembukaan oleh Superintendent
(semacam ketua Sekolah Minggu) dengan tekanan pada bernyanyi serta kata-kata
pendahuluan. 2. Pemisahan ke dalam kelas untuk 20-25 menit. 3. Penutupan juga
oleh Superintendent yang menambahkan
beberapa pikiran atau komentar tentang pelajaran yang baru diperoleh, lalu
diikuti dengan pembagian selebaran-selebaran, gambar dan lain-lain. 4.
Perkembangan Sekolah Minggu sendiri lebih memperhatikan pertobatan daripada
pendidikan. Sistem kurikulum yang seragam untuk semua umur yang dimulai sejak
1872 lebih mempermudah persiapannya karena bahan Alkitabnya sama, baik untuk
anak usia empat tahun maupun orang dewasa. Pendekatan Alkitab terjadi secara
harafiah karena gerakan injili pada akhir abad ke-19 sudah berwujud
fundamentalistis. Dengan demikian berpengaruh juga terhadap tokoh-tokoh gerakan
Sekolah Minggu yang menjadi bermusuhan terhadap interpretasi Alkitab yang
berbentuk historis kritis. Sebagai akibat dari gerakan Liberalisme yang
dipelopori oleh Schleiermacher, Ritschl dan Hegel, timbullah suatu kepercayaan yang
optimistis mengenai kebaikan manusia dan
kesempurnaan masyarakat yang dapat dicapai melalui usaha sendiri. Dengan
demikian orang mulai bosan dengan teologi yang mengatakan bahwa anak-anak
adalah mahluk yang berdosa; yang bila tidak bertobat akan masuk neraka. Dengan
kata lain Sekolah Minggu dalam bentuk lama tidak lagi dapat diterima. Hal ini
menyebabkan keanggotaan jemaat mulai terbagi antara kaum liberal dan kaum yang
menekankan pertobatan, atau yang biasa dikenal dengan sebutan golongan modernis
dan golongan fundamentalis. Semua
ketidakpuasan ini akhirnya dicetuskan dalam sebuah konferensi besar di Chicago
tahun 1903 yang berhasil membentuk Religious Education Association yang memberi
suatu tradisi baru dalam Sekolah Minggu, yaitu pemakaian Alkitab yang lebih
ilmiah. Namun keberadaannya tidak meniadakan skisma atau gep yang terjadi
antara kaum modernis dan fundamentalis. Bahkan dalam semangatnya yang
menekankan pendidikan yang lebih ilmiah termasuk dalam pendidikan agama membuat
lembaga ini terseret ke dalam cap sebagai bagian dari kelompok liberal, dimana
kelompok evangelical menganggapnya sebagai suatu bahaya terhadap eksistensi
Sekolah Minggu dan musuh terhadap Injil. Yang menarik adalah bahwa gerakan baru
lebih menyukai istilah religius daripada kristen. Salah seorang yang mewakili
gerakan ini, Chave dalam bukunya A
Functional Approach To Religious Education terbitan tahun 1947 berpendapat
bahwa percaya kepada Allah sudah dianggap ketinggalan zaman dan semacam tahyul.
Maka Alkitab yang penuh dengan hal-hal yang supranatural tidak lagi dapat
digunakan dalam pendidikan keagamaan. Bahkan dapat menyesatkan pikiran orang.
Kita sekarang ini harus berpaling kepada para ahli ilmu jiwa, ilmu sosiologi,
ahli sejarah yang meneliti secara ilmiah hidup manusia agar kita mengetahui
kebenaran apa yang ada pada diri manusia. Oleh karena itu menurut gerakan baru
ini pendidikan keagamaan tidak dapat berpaling ke belakang, baik mengenai isi,
metode dan dorongan melainkan harus dicarinya dalam keadaan yang bertumbuh sekarang
ini. Dengan kata lain mereka berpendapat bahwa pendidikan keagamaan tidak lagi
dapat menoleh kepada para nabi, rasul maupun pesan dan ajaran Yesus Kristus.
Dengan demikian yang muncul dari gerakan baru ini adalah ajaran palsu yang
bertentangan dengan Alkitab. Dampaknya sangat mungkin kita rasakan hingga kini,
yaitu dengan adanya kaum liberalisme dan evangelistik. Oleh karena itu menurut
saya (EST), menjadi hal yang penting bagi kita untuk menguji segala sesuatu
sebagaimana kata Alkitab termasuk di dalamnya menguji tiap-tiap ajaran yang
kita terima dengan tolak ukur sola fide, sola scriptura dan sola gratia.
Perhatikan kata sola scriptura yang bergaris bawah. Sebagai orang percaya
Alkitab perlu menjadi satu-satunya buku yang kita pegang karena Alkitab adalah
buku yang berisi Firman Allah. Bahkan Alkitab adalah Firman Allah itu sendiri,
dimana Firman Allah adalah sumber kebenaran dan kebenaran sejati. Melalui
Alkitablah kita dapat memperoleh jawaban tentang berbagai misteri yang
dibukakan-Nya bagi kita.
Dalam
perkembangannya muncullah suatu periode baru dalam teologi yang dinamai Period
of Theologycal Recovery. Sebuah kesadaran baru dalam dunia teologi yang tidak
bermaksud mencari jalan tengah antara kaum modernis dan fundamentalis melainkan
sebagai suatu pendekatan baru terhadap masalah PAK. Justru dorongan ini datang
lebih banyak dari anggota jemaat karena mereka banyak berhadapan dengan
kepercayaan yang bukan Kristen sehingga mereka menuntut jawaban-jawaban yang
sederhana tentang perbedaan mutlak yang ada antara kepercayaan Kristen dengan
kepercayaan-kepercayaan lainnya. Pada tahun 1944, International Council of
Christian Education mengakui adanya suatu perubahan lalu mengangkat sebuah
panitia studi untuk meneliti tempat kedudukan teologi dan PAK. Randolph Crump
Miller mengakui bahwa teologi memang
mempunyai tempat dalam PAK. Kuncinya bagi PAK adalah bahwa teologi merupakan
unsur yang hilang. Karena itu para ahli pendidik harus menjadi ahli teologi
agar tidak menyimpang dalam proses pendidikannya kepada nara didik. Dan
sebaliknya para ahli teologi harus menjadi ahli pendidik. Dalam perkembangannya
terus diupayakan perubahan ke arah yang lebih baik dan semakin baik terhadap
tradisi gereja termasuk pelaksanaan tradisi-tradisi di Sekolah Minggu sekalipun
tidak mudah. Perhatian lebih mendalam terhadap gerakan Sekolah Minggu mulai
semakin mendapat perhatian khususnya setelah Perang Dunia II, khususnya dari
kalangan teolog dan rohaniawan. Karena bagaimanapun juga tugas PAK tetap
merupakan tugas dan panggilan gereja yang tidak mungkin diserahkan begitu saja
kepada kaum awam. Atas dasar itulah PAK bukan hanya mempermasalahkan soal-soal
pedagogik, didaktik dan metodik melainkan juga teologi apakah yang
melatarbelakangi cerita dan pelajaran yang diberikan kepada anak didik. Menurut
Pdt Clement hal ini perlu dikemukakan berhubung gereja-gereja di Indonesia
sering bersikap acuh tak acuh terhadap bahan Sekolah Minggu. Berdasarkan
pengalaman saya (EST) selama melayani di lingkungan GKI, maka GKI dengan
Binawarganya telah berupaya keras untuk menunjang kemapanan bahan-bahan
pembinaan jemaat termasuk Sekolah Minggu. Dan besar harapan saya (Erick) agar
Binawarga tidak hanya menjadi aset GKI, tetapi juga dapat memfasilitasi
kebutuhan gereja-gereja di Indonesia akan bahan pembinaan, khususnya Sekolah
Minggu. Dengan demikian semakin banyak orang yang dapat terberkati melalui
kemapanan institusi atau lembaga gereja kita, termasuk Binawarga.
Kembali
pada topik bahasan mengenai PAK dan PWG, dimana sejak awal sudah dipaparkan
mengenai adanya keterkaitan erat antara PAK dan PWG, maka amatlah bijaksana dan
prinsipil bilamana WCCE (Dewan PAK se-Dunia) akhirnya digabung menjadi satu
dengan WCC (DGD) pada tahun 1971 di Lima, Peru. Dalam ungkapan kesepakatan
Sidang Raya WCC tersebut dinyatakanlah
bahwa selaku pendidik-pendidik Kristen mendidik tidaklah berarti mengajar
melainkan lebih banyak mengikatkan diri pada suatu realita yang ada di dalam
dan dengan manusia; yaitu belajar hidup, menganjurkan sikap kreatif baik bagi
diri sendiri maupun orang lain, dan bersama Allah dan kuasa-Nya membebaskan
umat manusia dari ikatan-ikatan yang menghalangi dia dalam memperkembangkan
gambar Allah. Dengan rumusan ini maka terjadi perubahan radikal mengenai
tujuan, isi dan metode/tugas pendidikan kita. Bertolak dari sini maka selama 25
tahun ke depan bahkan hingga saat ini, khususnya PAK di Indonesia mengalami
perkembangan yang sangat pesat.
Secara
umum berdasarkan kebenaran Alkitab sesungguhnya PAK dan PWG memiliki tujuan
yang sama, yaitu untuk memperlengkapi orang kudus b agi pekerjaan pelayanan,
bagi pembangunan tubuh Kristus sampai kita semua telah mencapai kesatuan iman
dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh dan tingkat
pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus sehingga kita tidak lagi mudah
disesatkan (bdk.Efesus 4:12-14). Namun justru di Negeri Belanda kedua istilah
ini agak tegas dibedakan. Hal ini mungkin disebabkan karena latar belakang
sejarahnya dimana terutama pembinaan warga sudah ada dalam bentuk
Volksontwikkeling atau Pengembangan Rakyat yang mulai dirintis sejak tahun 1794
oleh Maatschappij tot Nut van’t Algemeen. Kemudian disusul dengan pembentukan
universitas atau perguruan tinggi untuk rakyat. Semua itu sebenarnya di bawah
pengaruh pencerahan (Aufklarung) yang mempunyai cita-cita humanistis dengan
maksud supaya dengan adanya pengetahuan maka rakyat kelak menjadi baik.
Setelah
Perang Dunia II orang sibuk dengan pembangunan. Gereja pun dinilai lebih
bersifat introvert (hanya melayani ke dalam). Pada tahun 1945 Gereja Hervormd
di Belanda tergerak untuk mengadakan pembinaan bagi warganya dalam bentuk
konkret yaitu Institut Kerk en Wereld yang sebenarnya bermaksud untuk mencapai
pembangunan jemaat dan pendewasaan anggota. Namun dampaknya justru timbul
pertentangan antara gereja dan dunia yang saat itu banyak dipengaruhi oleh
kelompok sosialis komunis. Dengan kata lain gereja menjadi eksklusif bagi
dirinya sendiri. Hal itu juga mempengaruhi pertumbuhan gereja dan pertam bahan
anggota jemaat. Lain halnya dengan Gereja Gereformeerd yang dengan jelas
mengadakan pembinaan dalam bentuk Toerustingswerk dan betul-betul bertujuan
untuk memperlengkapi anggota jemaat untuk tugas-tugas tertentu dalam pekerjaan
jemaat, misalnya pemimpin pemuda, guru-guru Sekolah Minggu, Majelis Jemaat, dan
lain-lain.
Pembinaan
warga gereja dalam arti toerusting sebenarnya tidak lain adalah suatu bentuk
belajar. Namun belajar secara Alkitabiah selalu berwujud perbuatan. Belajar dan
berbuat tidak boleh dipisahkan, karena belajar dalam Alkitab selalu berarti
mengikut Yesus. Dengan kata lain dalam mengikut Yesus perlu ada upaya untuk
belajar (bdk.Matius 28:20; Yakobus 2). Dalam pembinaan dengan motivasi yang
demikian maka patut dipahami bahwa dunia adalah merupakan bagian dari cakupan
penggembalaan gereja sehingga tidak lagi terjadi pemisahan antara gereja dan
dunia. Adapun ciri khas PWG adalah sebagai berikut: 1. Sikap tindakan yang
terbuka terhadap perubahan- perubahan yang luas dan mendalam di masyarakat;
kemampuan menempatkan diri secara bertanggung jawab, dewasa, kritis dan kreatif
di dalam situasi yang baru. 2. Mampu berpikir secara ekumenis dan inklusif. 3.
Warga jemaat menjadi orang-orang yang bebas, yaitu bebas dari keakuan dan bebas
dalam melakukan tugas pelayanan (bdk.Galatia 5:1-11 tentang kemerdekaan
Kristen). 4. Warga jemaat menjadi mampu bekerja sama. 5. Warga jemaat menjadi
mampu berpikir secara lugas dalam mengatasi segala perkara. 6. Adanya sikap dan
semangat dialogis.
KESIMPULAN DAN
REFLEKSI TEOLOGIS
Dengan
berbagai uraian di atas maka jelaslah keterkaitan erat antara PAK dan PWG
dimana keduanya saling mengisi antara yang satu dengan yang lain. Dalam hal ini
PAK lebih berfungsi ke arah pewarisan iman dan perbendaharaan Kristen lainnya
agar supaya itu dapat diterapkan dan diwujudkan ke dalam hidup sehari-hari,
sedangkan usaha PWG adalah lebih banyak ke arah melayani orang supaya ia
dimungkinkan mewujudkan tugas dan panggilannya di tengah-tengah dunia dan
masyarakat dimana ia berada dengan segala apa yang ada padanya.
GKI
sebagai bagian dari keutuhan gereja Tuhan dan masyarakat Indonesia serta dunia
telah terlibat dan melibatkan diri dalam upaya-upaya pengembangan PAK dan PWG,
dimana buah dari keikutsertaan GKI dan upaya GKI melestarikan dan melembagakan
PAK dan PWG sebagai bagian dari tugas tanggung jawab gereja dapat terlihat
melalui kultur budaya hidup bergereja yang terbangun dan terpelihara hingga
saat ini. Demikian juga dalam peran serta GKI dalam kancah kehidupan
bermasyarakat di Indonesia dan bahkan dunia, dimana GKI terus berupaya menjadi
terang dan garam. GKI juga terus berupaya menjadi saksi Kristus dari Yerusalem
(diri sendiri atau GKI secara internal), Yudea, Samaria bahkan sampai ke ujung
bumi. Namun tiap-tiap hasil yang telah kita peroleh ini tidak seharusnya membuat
kita cepat berpuas diri melainkan kita harus terus mengobarkan semangat untuk
senantiasa menjawab tantangan dari Tuhan untuk menjadi saksi-Nya dan
menggembalakan domba-domba-Nya dimanapun kita berada dan ditempatkan Tuhan
sebagai bukti bahwa kita mengasihi Dia. Sebagaimana tema besar buletin kita
saat ini, yaitu Paskah adalah kasih. Selamat Paskah. Tuhan memberkati kita
sekalian.
Disusun oleh Erick Susanto Tjandra,
S.Si (Teol)
Jakarta,
16-17 Januari 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar