CATATANKU ERICKTJONG adalah blog yang berisi tentang catatan reflektif spiritual dan catatan-catatan kritis mengenai berbagai-bagai pokok persoalan.
Senin, 17 Agustus 2015
MEMAHAMI TEOLOGI BENCANA DALAM SPIRIT KEBEBASAN
Pembaca yang budiman, sebagai orang percaya kita pasti yakin dan percaya bahwa Allah kita adalah Allah pemelihara bukan? Bahkan Alkitab kita pun menegaskannya (bdk.Mazmur 138:8). Dalam nats tersebut terlihat jelas keyakinan iman pemazmur bahwa Tuhan akan menyelesaikannya bagiku! Ya Tuhan, kasih setia-Mu untuk selama-lamanya; janganlah Kau tinggalkan perbuatan tangan-Mu. Bahkan ungkapan itu jugalah yang acap kali kita dengar dalam ungkapan votum dan salam ketika ibadah berlangsung, bahwa pertolongan kita ialah dari Tuhan yang menciptakan langit dan bumi, yang tidak pernah meninggalkan buatan tangan-Nya, yang kasih setia-Nya tetap turun-temurun. Namun dalam kenyataan hidup yang kita alami, hadapi dan saksikan, kita masih acap kali berjumpa dengan realitas bencana dimana-mana. Sebut saja yang baru-baru ini terjadi adalah bencana gempa bumi di Nepal. Dan atau bencana tanah longsor di Pangalengan-Bandung. Pun tentunya masih banyak bencana-bencana di tempat lain yang tidak bisa kita rinci dan sebutkan satu demi satu. Tapi nyatanya bencana masih tetap terjadi di tengah realitas iman kita yang meyakini bahwa Allah adalah Sang Pemelihara. Bagaimana kemudian kita harus memahami tentang teologi bencana, termasuk dalam spirit kebebasan dan kemerdekaan?
Kalau kita mau menilik pada peristiwa air bah dan Nuh, maka akan sangat jelas tergambar di sana bahwa terjadinya bencana adalah karena pelanggaran manusia (lihat Kejadian 6:12-13). Di sana dengan jelas dikatakan bahwa Allah menilik bumi itu dan sesungguhnya rusak benar, sebab semua manusia menjalankan hidup yang rusak di bumi. Berfirmanlah Allah kepada Nuh: Aku telah memutuskan untuk mengakhiri hidup segala mahluk, sebab bumi telah penuh dengan kekerasan oleh mereka. Jadi Aku akan memusnahkan mereka bersama-sama dengan bumi. Ya, bahkan sejak awal manusia jatuh ke dalam dosa, maka sejak itulah manusia kehilangan kemuliaan Allah dan hal itu pun berdampak pada keutuhan ciptaan. Manusia pun jadi harus bekerja keras seumur hidupnya dengan mengusahakan tanah, dimana semak duri dan rumput durilah yang akan menjadi hasil dari tanah itu. Dan tumbuh-tumbuhan di padang akan menjadi makanan manusia itu (lihat Kejadian 3:17-19). Hal itu terjadi sebagai kutuk atas dosa yang dilakukan oleh manusia itu, dimana mereka telah melanggar perintah Allah untuk tidak memakan buah pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat. Hawa justru lebih mendengarkan perkataan iblis dalam wujud ular untuk mengambil dan memakan buah itu. Pun Adam juga lebih mendengarkan perkataan Hawa istrinya untuk memakan buah tersebut. Akhirnya dosa menguasai manusia. Ular pun menerima kutukan diantara berbasgai binatang lainnya. Semua karena dosa, karena upah dosa adalah kutuk dan maut. Demikianpun kita sebagai keturunan Adam dan Hawa telah mewarisi dosa turunan tersebut. Dengan demikian kita pun perlu bekerja keras untuk memenuhi seluruh kebutuhan hidup kita. Kita pun perlu mengusahakan segala sesuatu yang kita perlukan dari alam yang ada di sekitar kita. Dengan demikian nyatalah bahwa hidup manusia sangat bergantung dengan alam. Manusia juga tidak bisa melepaskan diri dari realitas alam termasuk di dalamnya bencana alam yang acap kali terjadi dan sangat berpengaruh juga bagi keberlangsungan kehidupan manusia. Sekali lagi saya tekankan bahwa segala sesuatunya disebabkan karena dosa manusia.
Namun sebagai orang percaya sesungguhnya kita adalah orang-orang yang telah ditebus dan harganya telah lunas dibayar oleh Tuhan, sehingga Alkitab dengan jelas berkata bahwa kita tidak perlu hidup di dalam dosa lagi. Dalam ungkapan yang lain Alkitab dengan jelas berkata agar kita tidak lagi menjadi hamba dosa melainkan hamba kebenaran. Kita adalah orang-orang yang telah dimerdekakan dan dibebaskan oleh Tuhan dari perbudakan dosa dan upah dosa yang adalah maut. Dengan demikian bagaimana kita harus memandang teologi bencana terutama dalam konteks dan spirit kemerdekaan dan kebebasan yang telah kita miliki berdasarkan anugerah Tuhan? Tentu jawabannya adalah bahwa kita harus mempergunakan kebebasan dan kemerdekaan ktia dengan penuh tanggung jawab, termasuk di dalamnya dalam hal mengelola alam semesta. Karena alam yang dapat kita nikmati saat ini bukanlah milik kita melainkan titipan dari generasi-generasi setelah kita. Oleh karena itu kita harus bisa menjaga dan memelihara alam dengan sebaik-baiknya. Pun tatkala bencana terjadi, kita perlu tetap yakin dan percaya bahwa tangan Tuhan tidak kurang panjang untuk menolong. Dia akan tetap menjaga dan memelihara hidup kita sekalipun kita ada di tengah bencana. Kita perlu tetap yakin bahwa sehabis hujan kan tampak pelangi. Kita perlu tetap yakin bahwa tangan Tuhan merenda kehidupan kita senantiasa. Jangan pernah putus pengharapan kepada-Nya, karena daripada-Nyalah datangnya pertolongan kita.
Kita perlu tetap percaya bahwa Tuhan tidak pernah mencobai kita. Namun ketika Tuhan mengizinkan segala sesuatu terjadi di dalam hidup kita, termasuk di dalamnya ketika Tuhan mengizinkan bencana terjadi maka yakinlah bahwa Tuhan hanya ingin melalui semua peristiwa hidup kita nama Tuhan semakin dipermuliakan, baik oleh kita maupun orang-orang di sekitar kita. Sampai akan tiba saatnya semua lutut akan bertelut dan semua lidah akan mengaku bahwa Yesus Kristuslah Tuhan. Yang perlu kita lakukan adalah tetap bersabar menanggung segala penderitaan dan tetap berpengharapan kepada-Nya (bdk.Kisah Ayub). Ayub adalah seorang yang saleh. Namun Tuhan tetap mengizinkan segala penderitaan terjadi di dalam hidupnya. Dan melalui penderitaannya itulah Tuhan dapat benar-benar menyaksikan kesetiaan Ayub kepada-Nya. Dengan demikian Tuhan pun mengembalikan semua milik Ayub, bahkan menggantinya dengan berlipat kali ganda. Satu hal yang harus selalu kita sadari bersama bahwa dalam segala peristiwa hidup kita termasuk bencana di dalamnya, Tuhan tidak pernah salah. Oleh karena itu jangan pernah mempersalahkan Tuhan melainkan introspeksilah diri kita sendiri terlebih dahulu. Sudahkah yang terbaik kita berikan kepada Tuhan? Sudahkan kita menjaga dan memelihara alam ini dengan sebaik-baiknya? Atau justru kita mempergunakan kehendak bebas kita untuk “merusak” alam ini dengan tindakan kita yang semena-mena terhadap alam dan sekitar kita? Kiranya Tuhan memimpin, menyertaiu dan memberkati kita sekalian. Merdeka!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar