CATATANKU ERICKTJONG adalah blog yang berisi tentang catatan reflektif spiritual dan catatan-catatan kritis mengenai berbagai-bagai pokok persoalan.
Sabtu, 26 Maret 2016
BELAJAR MENJADI TENANG
“Hanya dekat Allah saja aku tenang, dari pada-Nyalah keselamatanku (Mazmur 62:2).”
Pembaca yang budiman, kalau kita berbicara tentang buah kebangkitan Kristus, maka kita pasti akan langsung teringat dengan sebuah ungkapan yaitu damai sejahtera. Ya saudara, karena memang itulah janji-Nya kepada para murid dan juga kepada kita sekalian saat ini. Dia berjanji di dalam Firman-Nya bahwa damai sejahtera-Ku Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang dunia berikan kepadamu. Janganlah gelisah dan gentar hatimu. Sebuah ayat yang sangat terkenal yang dapat kita lihat dan baca di dalam Injil Yohanes 14:27. Bahkan sejak pewartaan tentang kelahiran-Nya ke dalam dunia, Dia sudah disebut sebagai Raja Damai. Dan penggenapan akan karya penyelamatan Allah atas umat manusia dalam diri Yesus Kristus yang menghasilkan damai sejahtera itu pun tergenapi melalui dan di dalam peristiwa paskah, dimana Kristus mati bagi dosa dunia, dan telah bangkit yang menandakan bahwa Dia telah menang atas dosa dan maut. Dengan demikian kita yang telah mengecap keselamatan dan janji hidup kekal hingga saat ini dapat berkata: “Maut dimanakah sengatmu?” Kita pun dapat meminta dengan leluasa dan terbuka kepada Tuhan: “Tuhan, berilah kami damai.” Ungkapan-ungkapan itulah yang acap kali kita dengar, kita alami dan kita rasakan di dalam setiap ibadah kita bukan?
Mungkin ada banyak dari antara kita yang akan bertanya: “Kalau begitu apa kaitannya antara damai sejahtera Allah dengan belajar menjadi tenang?” Melalui tulisan ini saya akan mencoba mengajak kita sekalian untuk bersama-sama belajar merenungkan dan membahasnya sehingga niscaya kita akan sama-sama semakin mengerti dan memahami dengan baik.
Saudara-saudara, bagi saya pribadi ketenangan adalah sebuah bentuk aplikasi nyata dari anugerah damai sejahtera Allah yang kita alami di dalam hati, pikiran dan keseluruhan hidup kita. Bahkan Alkitab berulang kali mengungkapkan tentang pentingnya belajar menjadi tenang. Coba kita lihat penggambaran mengenai karakter dua kakak beradik Esau dan Yakub dalam Kitab Kejadian 25:27. Esau digambarkan sebagai orang yang pandai berburu dan suka tinggal di padang. Sementara Yakub adalah seorang yang tenang yang suka tinggal di kemah. Perhatikanlah juga ungkapan kepala rumah Yusuf kepada saudara-saudaranya di dalam Kitab Kejadian 43:23. Dengan jelas dikatakan di sana: “Tetapi jawabnya: Tenang sajalah, jangan takut; Allahmu dan Allah bapamu telah memberikan kepadamu harta terpendam dalam karungmu; uangmu itu telah kuterima.” ... Perhatikan ungkapan kata “tenang” di dalam bagian bacaan ini. Bahkan di dalam Nehemia 8:12 diungkapkan bahwa orang-orang Lewi menyuruh semua jemaah laki-laki dan perempuan ketika itu untuk diam dengan kata-kata: “Tenanglah! Hari ini adalah kudus. Jangan kamu bersusah hati!” Mari sekali lagi kita perhatikan ungkapan kata tenang di dalam bagian bacaan ini. Bahkan hal menarik yang saya dapatkan dalam ungkapan orang Lewi kepada jemaaah ini ada pada ungkapan sebelumnya di ayat yang ke-11, dimana dikatakan di sana: “..., sebab sukacita karena Tuhan itulah perlindunganmu!” Ungkapan ini tentu sangat memiliki korelasi yang penuh dengan apa yang diungkapkan di dalam bagian bacaan kita saat ini, dimana dikatakan di sana bahwa hanya dekat Allah saja aku tenang. Dari pada-Nyalah keselamatanku.
Ya saudara, dengan demikian kita pasti menyadari benar bahwa belajar menjadi tenang adalah sebuah proses pembelajaran yang sangat penting di dalam kekristenan. Apalagi kalau kita berbicara mengenai keterkaitannya dengan damai sejahtera yang merupakan buah kebangkitan-Nya. Ayat-ayat yang saya paparkan di atas yang berhubungan dengan poin pembahasan tentang pentingnya belajar menjadi tenang barulah merupakan sekelumit ayat dari Perjanjian Lama yang dapat menjadi contoh dan referensi kita bersama. Namun jika kita mau mengulik kebenaran Firman Tuhan dari awal hingga akhir, dari Perjanjian Lama sampai dengan Perjanjian Baru; tentu masih banyak ayat-ayat lain yang menggambarkan tentang pentingnya belajar menjadi tenang. Bahkan Tuhan Yesus Kristus sendiri pun acap kali digambarkan sebagai figur yang perlu ketenangan. Coba kita perhatikan kisah tentang Yesus berpuasa selama empat puluh hari empat puluh malam di padang gurun. Mari kita perhatikan juga sebuah kisah yang acap kali dihubungkan dengan peristiwa paskah dimana Yesus Kristus berdoa seorang diri di Taman Getsemani.
Saudara-saudara, belajar menjadi tenang acap kali dihubungkan orang dengan pola hidup asketis dan bertarak yang seringkali dijadikan sebagai sebuah pola hidup oleh sebagian orang, termasuk di dalamnya juga kelompok orang percaya. Bahkan tidak jarang mereka sama sekali ingin terlepas dari hiruk pikuk kehidupan dunia dengan berbagai macam alasan termasuk di dalamnya supaya tidak termanipulasi dengan dosa. Apakah hal itu salah? Tentu bukan hak kita untuk melakukan justifikasi dalam hal ini. Tapi saya pribadi berpendapat bahwa tidak akan pernah ada satu manusia pun yang dapat membatasi diri untuk hidup sendiri dan atau mengeksklusifkan diri. Setiap orang yang hidup adalah orang yang senantiasa bergerak dan mengalami mobilisasi, dimana setiap kita pasti (tidak bisa tidak) akan bertemu dengan orang-orang baru dan momentum-momentum yang baru juga. Dalam konteks Alkitab setiap kita orang percaya dipanggil dan dipilih-Nya untuk menjadi saksi-Nya dari Yerusalem, Yudea, Samaria dan bahkan sampai ke ujung bumi. Karena perintah Tuhan sangat jelas kepada kita, yaitu jadikanlah semua bangsa murid-Ku. Dan untuk itu kita diutus untuk pergi mengabarkan injil ke seluruh pelosok negeri.
Jadi dengan demikian, belajar menjadi tenang tidak identik dengan hidup individualistis dimana kita benar-benar melepaskan diri dari hiruk pikuk kehidupan dunia ini sebagaimana dibayangkan dan dilakukan juga oleh sebagian orang. Kalau kita berbicara mengenai hidup bertarak atau tidak menikah, maka kita dapat ketahui bersama bahwa Paulus pun adalah seorang rasul yang tidak menikah. Dan tentu hal itu bukanlah pilihan hidup yang salah sepanjang dilakukan dengan motivasi dan aksi yang benar dan tepat, seperti halnya Paulus. Tujuan utama dari pilihan hidup bertaraknya adalah agar dia dapat fokus untuk mengabarkan injil Kristus ke berbagai tempat. Dan dia tidak serta merta melepaskan diri dari berbagai macam problematik dunia sekitarnya. Dia justru ikut terlibat di dalam problematika dunia sekitarnya dengan tujuan mewartakan tentang Kristus Sang Juruselamat dan meluruskan apa yang bengkok dari dunia sesuai dengan kebenaran dan keadilan Allah. Melalui hal itulah dia mewujudnyatakan dirinya sebagai garam dan terang dunia. Demikian pun kita dipanggil oleh-Nya untuk menjadi garam dan terang dunia. Bahkan sesungguhnya kita dipanggil ke dalam dunia yang penuh kerusuhan dan begitu keras seperti halnya domba di tengah serigala tidak lain adalah supaya kita dapat menjadi pembawa damai dan terang di dalam kegelapan.
Untuk mencapai kesempurnaan visi dan misi Allah atas kita yang telah dipanggil dan dipilih-Nya untuk menjadi rekan sekerja-Nya di dalam dunia, maka kita perlu menyediakan diri kita untuk mau dibentuk oleh Tuhan. Salah satunya adalah dengan belajar menjadi tenang. Bagaimana agar kita dapat belajar menjadi tenang? Satu-satunya jalan tidak lain adalah dengan belajar mendekatkan diri kepada Tuhan, karena hanya dekat Allah saja aku tenang, kata Firman Tuhan. Yang terpenting di sini adalah bahwa untuk mencapai ketenangan yang sempurna maka kita perlu terus melatih diri kita bukan hanya dengan latihan badani, tetapi juga dengan latihan rohani. Salah satu caranya adalah dengan terus memupuk kerajinan kita dalam beribadah (lihat 1 Timotius 4:8). Dan yang lebih utama lagi adalah kita perlu terus menyerahkan diri dan segenap hidup kita kepada-Nya karena hanya Dia sajalah yang sanggup menenangkan badai (bdk.Matius 8:23-27). Ketika para murid pada saat itu justru menjadi orang yang takut karena kurang percaya sekalipun mereka saat itu berada bersama dengan Yesus, tentu saat ini Tuhan Yesus Kristus menginginkan agar kita benar-benar percaya dan mempercayakan kehidupan kita sepenuhnya kepada-Nya, karena Dia berjanji bahwa Dia akan menyertai kita sampai kepada akhir zaman. Dia adalah Tuhan yang sangat bertanggung jawab atas kita. Yang Dia mau adalah agar kita senantiasa berdekat kepada-Nya. Selamat paskah. Tuhan memberkati kita sekalian. Amin.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar