Selasa, 13 Agustus 2013

SPIRITUALITAS TAIZE DAN PENGARUHNYA BAGI SPIRITUALITAS JEMAAT

Pengantar: Pujian Jemaat Sebagai Bagian Integral Dari Keutuhan Liturgi Dalam Ibadah
Sebagai warga gereja GKI dan khususnya sebagai anggota jemaat GKI Wahid Hasyim tentunya tiap-tiap kita sudah akrab dengan tata cara ibadah yang biasa berlangsung di GKI tiap-tiap minggunya bukan? Mulai dari pujian pembuka, votum dan salam dan seterusnya sampai dengan pujian penutup atau yang biasa dikenal dengan istilah pujian pengutusan yang diakhiri dengan berkat yang disampaikan oleh pendeta atau pelayan Firman yang sekaligus menjadi tanda selesainya rangkaian ibadah tersebut. Coba kita perhatikan kata “rangkaian” yang saya sebutkan barusan. Kata rangkaian di sini hendak menunjukkan bahwa ibadah dengan keseluruhan rangkaian liturgi yang ada di dalamnya merupakan sebuah keutuhan dan kebulatan yang satu sama lain tidak bisa dipisahkan. Demikian juga dengan lagu-lagu pujian jemaat yang dinyanyikan dalam ibadah tersebut. Kesemuanya itu menghantarkan kita pada penanaman nilai-nilai Kristusentris yang terdiri dari tiga komponen, yaitu His Life, His Teaching dan His Works. Kesemuanya itu pada hakikatnya menghantarkan kita pada pencapaian peningkatan spiritualitas kita secara pribadi. Sebut saja satu contoh, yaitu mengenai keberadaan kelompok paduan suara yang biasanya menyanyikan lagu pujian untuk Tuhan di waktu sebelum atau setelah khotbah. Atau bahkan sebelum dan setelah khotbah. Pasti lagu tersebut akan sangat berfungsi untuk semakin mempersiapkan hati dan pikiran kita dalam menuju pemberitaan Firman  Tuhan dan juga menghantarkan kita untuk semakin mengerti dan memahami pesan Firman Tuhan yang telah disampaikan, sehingga hati kita semakin dimantapkan untuk menjalani hari-hari di dalam kehidupan keseharian kita, karena keseluruhan dan keutuhan nilai yang kita dapat dalam ibadah tersebut merupakan modal kita untuk semakin berdiri teguh dan tidak goyah dalam menjalani hidup di dalam Tuhan dan bersama Tuhan. Demikian juga dengan urutan lagu pujian yang dilantunkan dalam ibadah sesuai dengan bagian litaninya masing-masing. Misalnya saja nyanyian pengakuan dosa seyogyanya akan semakin menghantarkan kita untuk menyadari segala dosa dan kesalahan kita dan untuk sesegera mungkin kita berbalik pada Tuhan dan menyatakan pertobatan kita di hadapan-Nya. Demikian juga dengan nyanyian kesanggupan pasca berita anugerah diwartakan. Seyogyanya menghantarkan kita untuk semakin mantap menerima dan bertekad untuk mengaplikasikan berita anugerah itu di dalam kehidupan kita sebagai orang-orang yang telah diampuni dosanya oleh Tuhan. Pun dengan pujian sebelum Firman, pujian persembahan dan pujian pengutusan. Pastilah kesemuanya itu memberikan sumbangsih dalam peningkatan spiritualitas kita (jemaat) sesuai dengan kaidah nilai litani yang sedang berlangsung. Melalui rangkaian ibadah yang masing-masing liturginya dan proses yang terjadi di dalamnya merupakan sebuah keutuhan dan tidak dapat dipisah-pisahkan (saling melengkapi) inilah maka dapat kita yakini bersama bahwa tiap-tiap anggota jemaat yang serius dan bersungguh-sungguh dalam mengikuti dan menjalankan ibadahnya pasti akan memperoleh kebulatan dan keutuhan nilai spiritual yang dapat membangun dirinya menjadi lebih baik dan semakin baik dari waktu ke waktu. Dengan kata lain jemaat akan terus senantiasa terbentuk dan dibentuk menjadi semakin serupa dengan Kristus, dimana keserupaan dengan Kristus itu juga akan tergambar melalui pola hidup, pola pikir dan pola tindaknya secara individu maupun secara sosial. Peningkatan spiritualitas yang terjadi menjadi bukti nyata bahwa melalui ibadah yang kita jalani kita benar-benar mengalami perjumpaan dengan Tuhan yang kemudian mempengaruhi pola hidup, pola pikir dan pola tindakan yang kita lakukan di dalam keseharian kita, dimana kita berpikir sebagaimana Kristus berpikir; kita bertindak sebagaimana Kristus bertindak; kita berkata-kata sebagaimana Kristus berkata-kata. Dengan demikian ibadah yang telah kita jalani tersebut dalam keutuhan dan kebulatannya dapat membantu kita untuk menjaga hidup kudus di hadapan Tuhan dan sesama. Oleh karena itulah Alkitab senantiasa berpesan kepada kita agar kita tidak menjauhi persekutuan-persekutuan ibadah, melainkan kita perlu untuk memupuk kerajinan kita sehingga kerajinan kita tidak menjadi kendor.

Komunitas Taize Dalam Sejarah Dan Nilai Eksistensialnya
Komunitas Taize adalah sebuah komunitas monastik ekumenis yang terdapat di Wilayah Taize, Saône-et-Loire, Burgundy, Prancis. Keberadaan komunitas ini dirintis oleh seorang bruder kelahiran Swiss yang kemudian pergi meninggalkan kota kelahirannya untuk tinggal di Perancis yang merupakan tempat kelahiran ibunya. Selama empat tahun beliau mengalami sakit TBC dan selama masa-masa pemulihan kesehatannya itulah beliau telah mematangkan dalam dirinya panggilan untuk menciptakan sebuah komunitas yang hingga kini kita kenal komunitas itu dengan nama komunitas Taize. Beliau bernama Bruder Roger. Ketika itu usianya dua puluh lima tahun di tahun 1940 (Sumber: spiritualitaskatolik.wordpress.com/2012/09/03/taize/). Dalam buku Meniti Kalam Kerukunan (ed.Prof.DR.Phil HM Nur Kholis Setiawan dan Pdt DR.Djaka Soetapa, hlm. 576) diperoleh informasi mengenai latar belakang kekristenan Bruder Roger yang adalah seorang Protestan Lutheran. Adapun pada awalnya komunitas Taize terbentuk dari sekumpulan pengungsi Yahudi korban kekejaman NAZI (Jerman) yang dibantu oleh Bruder Roger. Aktivitas yang mereka lakukan sejak awal adalah membangun kehidupan bertani dan berdoa. Hingga kini komunitas itu telah berkembang pesat dengan keberadaan para bruder dari berbagai negara di dunia termasuk Indonesia (Ibid.). Pun hingga kini Taize acap kali dijadikan tempat ziarah rohani bagi banyak orang dari berbagai penjuru dunia.
Menilik dari latar belakang terbentuknya komunitas Taize yang berawal dari para pengungsi Yahudi korban kekejaman NAZI, maka secara kasat mata saja kita sudah bisa menangkap spirit atau nilai yang diperjuangkan dalam komunitas ini, yaitu nilai perdamaian. Buku Meniti Kalam Kerukunan di halaman yang sama sebagaimana tersebut di atas ikut menegaskannya. Dalam buku itu diungkapkan bahwa spiritualitas Taize adalah ragi perdamaian yang ditaburkan pada ribuan kaum muda yang melakukan peziarahan iman di Taize setiap tahunnya dan dalam pertemuan-pertemuan di berbagai belahan dunia. Semangat perdamaian komunitas Taize merupakan perumpamaan persatuan (a parable of community). Dengan latar belakang kekristenan Bruder Roger yang adalah seorang Protestan Lutheran pun kita juga bisa menangkap semangat ekumenis yang ditanamkan dan dipelihara di dalam komunitas Taize ini. Sebuah buku berjudul Struggling In Hope (Bergumul Dalam Pengharapan) dengan editor Ferdinand Suleeman, dkk yang dipersembahkan sebagai penghargaan terhadap Pdt.Eka Darmaputera juga turut menegaskannya. Dalam buku itu di halaman 116 ditegaskan bahwa komunitas Taize sendiri menggarisbawahi bahwa mereka tidak bermaksud untuk mempropagandakan satu model yang seragam untuk segala bangsa dan kebudayaan. Diharapkan agar umat kristiani di segala tempat dan waktu mengembangkan cara-cara sendiri yang kontekstual dan oikumenis. Perlu dicatat juga bahwa sasaran Taize bukan hanya kaum elit yang mempunyai cukup uang untuk berziarah ke sana dan cukup pintar untuk mengikuti ibadah sehari-hari. Para anggota komunitas Taize sendiri hidup sangat sederhana dan para utusan Taize justru ditemukan di tempat-tempat yang paling rawan di dunia (bdk.Filipi 2:1-11). Perikop dalam bagian bacaan ini berjudul nasihat supaya bersatu dan merendahkan diri seperti Kristus. Melalui gambaran perikop inilah kita dapat menggambarkan apa, siapa dan bagaimana komunitas Taize itu sesungguhnya. Persatuan yang menjadi semangat dari komunitas Taize ini dapat terlukiskan melalui keberadaan para brudernya hingga kini yang tidak hanya terdiri dari orang-orang Katholik saja melainkan juga Protestan dengan berbagai latar denominasinya. Bahkan dalam perkembangannya yang terlibat dalam komunitas ini bukan hanya para bruder yang terdiri dari kaum laki-laki melainkan juga para kaum perempuan (para suster) yang lebih banyak terlibat sebagai penyambut. Ibadah Taize memang merupakan bentuk ibadah yang lebih banyak didominasi dengan doa dan nyanyian. Pelaksanaan ibadahnya pun mengalir dari awal sampai akhir. Berikut ini adalah rincian penjelasan mengenai poin-poin dalam rangka mempersiapkan dan melaksanakan ibadah (doa) di komunitas Taize:
 Mazmur
Yesus berdoa doa-doa yang kuno ini. Orang-orang Kristen selalu menemukan mata air hidup di dalamnya. Mazmur menempatkan kita dalam persatuan yang dalam bersama dengan semua umat percaya. Kegembiraan, kesedihan, iman kita kepada Tuhan, kehausan dan bahkan kecemasan kita ditemukan dalam ungkapan-ungkapan mazmur. Satu atau dua orang dapat mendaraskan atau membacakan ayat-ayat mazmur. Setelah setiap ayat, semua orang menyambutnya dengan Aleluia atau nyanyian aklamasi yang lainnya. Jika ayat-ayat tersebut dinyanyikan, sebaiknya tidak terlalu panjang, biasanya sepanjang dua baris. Dalam beberapa hal, para peserta doa dapat mendengungkan nada akhir dari aklamasi ketika ayat solo dinyanyikan. Jika ayat-ayat tersebut dibacakan dan tidak dinyanyikan, dapat menjadi lebih panjang. Oleh sebab itu tidaklah perlu untuk membaca keseluruhan mazmur. Janganlah ragu-ragu untuk memilih hanya beberapa ayat dan sebaiknya ayat-ayat tersebut mudah dipahami.
Bacaan
Membaca Kitab Suci adalah satu jalan menuju “mata air yang tak melelahkan dimana Tuhan telah memberikan diri-Nya sendiri untuk menawarkan dahaga umat manusia” (Origen, abad ke tiga). Alkitab merupakan “surat dari Tuhan untuk karya ciptaan-Nya” sehingga mereka “dapat menemukan hati Tuhan di dalam sabda Tuhan” (Gregorius Agung, abad ke enam). Komunitas-komunitas yang berdoa bersama secara rutin membaca Alkitab secara teratur. Tetapi untuk acara doa mingguan atau bulanan, bacaan-bacaan yang mudah dipahami harus dipilih, yang juga cocok untuk tema doa atau yang sesuai dengan penanggalan liturgi. Setiap bacaan dapat dimulai dengan kata-kata “Bacaan dari ….” atau “Injil menurut Santo …” Jika terdapat dua bacaan, bacaan yang pertama dapat dipilih dari Perjanjian Lama, Surat para Rasul, Kisah para Rasul atau dari Wahyu; bacaan kedua sebaiknya selalu dari salah satu Injil. Dalam hal ini, sebuah nyanyian meditatif dapat dinyanyikan di antara kedua bacaan tersebut. Sebelum dan sesudah bacaan, sebaiknya dipilih sebuah nyanyian untuk merayakan cahaya Kristus. Ketika nyanyian ini dinyanyikan, anak-anak atau kaum muda dapat maju ke depan dengan lilin yang bernyala untuk menyalakan lampu minyak yang didirikan di atas sebuah penopang. Tanda ini mengingatkan kita bahwa sekalipun malam sangat gelap, entah itu di dalam hidup kita atau dalam kehidupan umat manusia, cinta Kristus adalah sebuah nyala api yang tak pernah padam.
Nyanyian
Saat hening
Ketika kita mencoba untuk mengungkapkan persatuan dengan Tuhan dalam kata-kata, alam pikiran kita sering datang dengan cepat. Tetapi, di kedalaman diri kita, melalui Roh Kudus, Kristus berdoa jauh lebih banyak dari pada yang dapat kita bayangkan. Sekalipun Tuhan tidak pernah berhenti mencoba untuk berhubungan dengan kita, doa ini tidak pernah dipaksakan. Suara Tuhan seringkali terdengar hanya berupa bisikan, dalam sebuah tarikan napas keheningan. Tinggal diam dalam keheningan dalam kehadiran Tuhan, membuka diri kepada Roh Kudus, adalah sudah merupakan sebuah doa. Jalan menuju kontemplasi bukanlah untuk mencapai keheningan batin dengan jalan mengikuti beberapa teknik yang membuat semacam kehampaan di dalam diri kita.Sebaliknya, dengan iman seorang anak kecil, kita membiarkan Kristus berdoa dengan hening di dalam diri kita, sehingga suatu hari kita akan menemukan bahwa di kedalaman diri kita terdapat suatu kehadiran. Selama doa bersama dengan orang lain, yang terbaik adalah terdapat satu kali saat hening yang agak panjang (5 sampai 10 menit) dari pada beberapa kali saat hening dengan waktu-waktu yang pendek. Jika mereka yang hadir dalam doa tidak terbiasa dengan saat hening, adalah sangat membantu bila sebelumnya diberikan penjelasan singkat Atau, segera sesudah nyanyian penghantar saat hening, seseorang dapat berkata, “Doa akan dilanjutkan dengan saat hening selama beberapa saat.”
Doa permohonan atau Litani pujian
Sebuah doa mengandung petisi (doa permohonan) pendek atau aklamasi, yang dibantu dengan dengungan, dengan setiap petisi diikuti dengan sebuah jawaban yang dinyanyikan oleh semua orang, dapat berupa semacam “tiang api” di pusat hati doa tersebut. Mendoakan orang lain melebarkan doa kita kepada berbagai sisi kehidupan seluruh umat manusia; kita mempercayakan kepada Tuhan kegembiraan, harapan-harapan, kesedihan dan penderitaan semua orang, khususnya bagi mereka yang terlupakan. Sebuah doa pujian memungkinkan kita untuk merayakan segalanya bahwa Tuhan adalah bagi kita.
Satu atau dua orang dapat mengungkapkan doa permohonan mereka atau aklamasi pujian, yang dinyanyikan di awal dan disertai dengan seruan Kyrie eleison, Gospodi pomiluj (Tuhan, kasihanilah kami), atau Kami memuji-Mu, Tuhan. Setelah doa permohonan selesai dibacakan, berikanlah waktu sejenak bagi orang-orang untuk mengucapkan berdoa secara spontan melalui kata-kata mereka sendiri, ungkapan doa yang keluar dari hati mereka. Doa-doa spontan ini sebaiknya pendek dan ditujukan kepada Tuhan; bukan merupakan kesempatan untuk menyampaikan gagasan-gagasan pribadi dan pandangan-pandangan bagi orang lain yang mereka bawakan sebagai doa. Setiap doa spontan ini disertai dengan seruan yang sama yang dinyanyikan oleh semua orang.
Doa Bapa Kami
Doa Penutup
Nyanyian
Terakhir, nyanyian dapat dilanjutkan untuk beberapa waktu. Sebagian dari peserta doa, jika mereka menginginkannya, dapat tetap tinggal untuk terus bernyanyi atau meneruskan doa. Sebagian dari peserta doa yang lain dapat diundang untuk saling berbagi pendapat dalam kelompok-kelompok kecil yang diadakan tak jauh dari ruangan doa, misalnya untuk merenungkan bacaan dari Kitab Suci, untuk memudahkan dapat digunakan “Renungan Yohanes”. Setiap bulan di dalam Surat dari Taizé, terdapat “Renungan Yohanes” yang menyarankan saat hening dan saling berbagi pendapat di seputar bacaan Kitab Suci. (Op.Cit., Spiritualitas Katolik Wordpress.com).

Penutup: Kesimpulan & Refleksi Teologis
Dari berbagai uraian mengenai komunitas Taize tersebut di atas kita dapat menyimpulkan bahwa komunitas Taize telah memberikan sumbangsih yang baik bagi perkembangan dan peningkatan spiritualitas jemaat dan gereja di seluruh dunia. Prinsip-prinsip yang dipegang dan diterapkan pun sangat Alkitabiah. Dengan demikian tidak ada alasan bagi kita untuk menutup diri terhadap eksistensi mereka dan dampaknya bagi perkembangan gereja serta jemaat kita terutama dalam hal spiritualitas yang senantiasa mengarah kepada spiritualitas Kristus, dimana Kristus menjadi teladan hidup tiap-tiap orang, terutama orang-orang percaya. Dalam hal ini komunitas Taize juga menjadi bagian dari komunitas orang percaya. Dengan demikian komunitas Taize merupakan bagian yang nyata eksistensinya bagi perkembangan gereja di seluruh dunia termasuk kita. Untuk itu merupakan hal yang baik juga ketika kita mau membuka diri kita untuk mau belajar tentang tata cara dan pola yang diterapkan dalam komunitas (ibadah) Taize. Dengan demikian gereja kita bukan menjadi gereja yang kaku. Dengan sikap terbuka yang kita miliki juga kita sudah mampu menyadari bahwa tiap-tiap kita sebagai komunitas orang percaya secara menyeluruh (inter denominasi) merupakan kesatuan tubuh Kristus dimana Kristus yang menjadi kepalanya.

Tulisan ini dibuat dalam rangka memberikan pengetahuan kepada jemaat mengenai komunitas Taize yang dalam ibadahnya lebih banyak didominasi dengan nyanyian dan doa. Beberapa contoh lagu Taize yang dimuat juga dalam buku pujian kita antara lain: Angkatlah Gita Baru (PKJ 298), Bersyukur Puji Tuhan (PKJ 299), Jangan Kuatir (PKJ 302), Segala Suku Bangsa (PKJ 305), Tuhanlah Kekuatanku (PKJ 307) dan Yesus TerangMu Pelita Hatiku (PKJ 308). Hal ini menunjukkan bahwa kita sesungguhnya telah menjadi gereja yang terbuka. Biarlah kiranya keterbukaan itu juga dapat kita jiwai dan terapkan bersama bukan hanya dalam ibadah formal di gereja melainkan juga dalam kehidupan keseharian kita, sehingga kita tidak menjadi orang-orang yang eksklusif melainkan inklusif. Dengan demikian kita mampu menghargai kepelbagaian. Dalam kaitannya dengan kemerdekaan, maka penghargaan terhadap kepelbagaian menandakan bahwa tiap-tiap kita seyogyanya telah menjadi orang-orang yang merdeka. Yang mampu mengekspresikan Kristus dalam berbagai cara yang positif dan membangun; yang sesuai dengan kaidah nilai-nilai iman kita sebagaimana terkandung di dalam Alkitab. Dengan demikian kebebasan dan kemerdekaan yang kita terapkan tetaplah merupakan kebebasan dan kemerdekaan yang bertanggung jawab dan bukannya kebebasan yang tanpa aturan. Satu hal yang perlu diingat bahwa Allah kita adalah Allah yang menyukai keteraturan dan sangat bertanggung jawab memelihara ciptaan-Nya. Pun akan tiba saatnya bagi kita untuk mempertanggungjawabkan segala sesuatu yang kita hidupi di dunia ini di hadapan-Nya pada saat penghakiman terakhir. Oleh karena itu jalanilah hidup ini dengan penuh tanggung jawab. Selamat merayakan bulan musik gerejawi yang jatuh pada bulan Agustus. Pun selamat memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia. Merdeka! Soli Deo Gloria. Amin.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar