Pengantar: Pujian
Jemaat Sebagai Bagian Integral Dari Keutuhan Liturgi Dalam Ibadah
Sebagai warga gereja GKI dan khususnya sebagai anggota
jemaat GKI Wahid Hasyim tentunya tiap-tiap kita sudah akrab dengan tata cara
ibadah yang biasa berlangsung di GKI tiap-tiap minggunya bukan? Mulai dari
pujian pembuka, votum dan salam dan seterusnya sampai dengan pujian penutup
atau yang biasa dikenal dengan istilah pujian pengutusan yang diakhiri dengan
berkat yang disampaikan oleh pendeta atau pelayan Firman yang sekaligus menjadi
tanda selesainya rangkaian ibadah tersebut. Coba kita perhatikan kata
“rangkaian” yang saya sebutkan barusan. Kata rangkaian di sini hendak
menunjukkan bahwa ibadah dengan keseluruhan rangkaian liturgi yang ada di
dalamnya merupakan sebuah keutuhan dan kebulatan yang satu sama lain tidak bisa
dipisahkan. Demikian juga dengan lagu-lagu pujian jemaat yang dinyanyikan dalam
ibadah tersebut. Kesemuanya itu menghantarkan kita pada penanaman nilai-nilai
Kristusentris yang terdiri dari tiga komponen, yaitu His Life, His Teaching dan
His Works. Kesemuanya itu pada hakikatnya menghantarkan kita pada pencapaian
peningkatan spiritualitas kita secara pribadi. Sebut saja satu contoh, yaitu
mengenai keberadaan kelompok paduan suara yang biasanya menyanyikan lagu pujian
untuk Tuhan di waktu sebelum atau setelah khotbah. Atau bahkan sebelum dan
setelah khotbah. Pasti lagu tersebut akan sangat berfungsi untuk semakin
mempersiapkan hati dan pikiran kita dalam menuju pemberitaan Firman Tuhan dan juga menghantarkan kita untuk
semakin mengerti dan memahami pesan Firman Tuhan yang telah disampaikan,
sehingga hati kita semakin dimantapkan untuk menjalani hari-hari di dalam
kehidupan keseharian kita, karena keseluruhan dan keutuhan nilai yang kita
dapat dalam ibadah tersebut merupakan modal kita untuk semakin berdiri teguh
dan tidak goyah dalam menjalani hidup di dalam Tuhan dan bersama Tuhan.
Demikian juga dengan urutan lagu pujian yang dilantunkan dalam ibadah sesuai
dengan bagian litaninya masing-masing. Misalnya saja nyanyian pengakuan dosa
seyogyanya akan semakin menghantarkan kita untuk menyadari segala dosa dan
kesalahan kita dan untuk sesegera mungkin kita berbalik pada Tuhan dan
menyatakan pertobatan kita di hadapan-Nya. Demikian juga dengan nyanyian
kesanggupan pasca berita anugerah diwartakan. Seyogyanya menghantarkan kita
untuk semakin mantap menerima dan bertekad untuk mengaplikasikan berita anugerah
itu di dalam kehidupan kita sebagai orang-orang yang telah diampuni dosanya
oleh Tuhan. Pun dengan pujian sebelum Firman, pujian persembahan dan pujian
pengutusan. Pastilah kesemuanya itu memberikan sumbangsih dalam peningkatan
spiritualitas kita (jemaat) sesuai dengan kaidah nilai litani yang sedang
berlangsung. Melalui rangkaian ibadah yang masing-masing liturginya dan proses
yang terjadi di dalamnya merupakan sebuah keutuhan dan tidak dapat
dipisah-pisahkan (saling melengkapi) inilah maka dapat kita yakini bersama
bahwa tiap-tiap anggota jemaat yang serius dan bersungguh-sungguh dalam
mengikuti dan menjalankan ibadahnya pasti akan memperoleh kebulatan dan
keutuhan nilai spiritual yang dapat membangun dirinya menjadi lebih baik dan
semakin baik dari waktu ke waktu. Dengan kata lain jemaat akan terus senantiasa
terbentuk dan dibentuk menjadi semakin serupa dengan Kristus, dimana keserupaan
dengan Kristus itu juga akan tergambar melalui pola hidup, pola pikir dan pola
tindaknya secara individu maupun secara sosial. Peningkatan spiritualitas yang
terjadi menjadi bukti nyata bahwa melalui ibadah yang kita jalani kita
benar-benar mengalami perjumpaan dengan Tuhan yang kemudian mempengaruhi pola
hidup, pola pikir dan pola tindakan yang kita lakukan di dalam keseharian kita,
dimana kita berpikir sebagaimana Kristus berpikir; kita bertindak sebagaimana
Kristus bertindak; kita berkata-kata sebagaimana Kristus berkata-kata. Dengan
demikian ibadah yang telah kita jalani tersebut dalam keutuhan dan kebulatannya
dapat membantu kita untuk menjaga hidup kudus di hadapan Tuhan dan sesama. Oleh
karena itulah Alkitab senantiasa berpesan kepada kita agar kita tidak menjauhi
persekutuan-persekutuan ibadah, melainkan kita perlu untuk memupuk kerajinan
kita sehingga kerajinan kita tidak menjadi kendor.
Komunitas Taize Dalam
Sejarah Dan Nilai Eksistensialnya

Komunitas Taize adalah sebuah komunitas monastik ekumenis
yang terdapat di Wilayah Taize, Saône-et-Loire, Burgundy, Prancis. Keberadaan
komunitas ini dirintis oleh seorang bruder kelahiran Swiss yang kemudian pergi
meninggalkan kota kelahirannya untuk tinggal di Perancis yang merupakan tempat
kelahiran ibunya. Selama empat tahun beliau mengalami sakit TBC dan selama
masa-masa pemulihan kesehatannya itulah beliau telah mematangkan dalam dirinya
panggilan untuk menciptakan sebuah komunitas yang hingga kini kita kenal
komunitas itu dengan nama komunitas Taize. Beliau bernama Bruder Roger. Ketika
itu usianya dua puluh lima tahun di tahun 1940 (Sumber: spiritualitaskatolik.wordpress.com/2012/09/03/taize/).
Dalam buku Meniti Kalam Kerukunan (ed.Prof.DR.Phil HM Nur Kholis Setiawan dan
Pdt DR.Djaka Soetapa, hlm. 576) diperoleh informasi mengenai latar belakang
kekristenan Bruder Roger yang adalah seorang Protestan Lutheran. Adapun pada
awalnya komunitas Taize terbentuk dari sekumpulan pengungsi Yahudi korban
kekejaman NAZI (Jerman) yang dibantu oleh Bruder Roger. Aktivitas yang mereka
lakukan sejak awal adalah membangun kehidupan bertani dan berdoa. Hingga kini
komunitas itu telah berkembang pesat dengan keberadaan para bruder dari berbagai
negara di dunia termasuk Indonesia (Ibid.).
Pun hingga kini Taize acap kali dijadikan tempat ziarah rohani bagi banyak
orang dari berbagai penjuru dunia.
Menilik dari latar belakang terbentuknya komunitas Taize
yang berawal dari para pengungsi Yahudi korban kekejaman NAZI, maka secara
kasat mata saja kita sudah bisa menangkap spirit atau nilai yang diperjuangkan
dalam komunitas ini, yaitu nilai perdamaian. Buku Meniti Kalam Kerukunan di
halaman yang sama sebagaimana tersebut di atas ikut menegaskannya. Dalam buku
itu diungkapkan bahwa spiritualitas Taize adalah ragi perdamaian yang
ditaburkan pada ribuan kaum muda yang melakukan peziarahan iman di Taize setiap
tahunnya dan dalam pertemuan-pertemuan di berbagai belahan dunia. Semangat
perdamaian komunitas Taize merupakan perumpamaan persatuan (a parable of
community). Dengan latar belakang kekristenan Bruder Roger yang adalah seorang
Protestan Lutheran pun kita juga bisa menangkap semangat ekumenis yang
ditanamkan dan dipelihara di dalam komunitas Taize ini. Sebuah buku berjudul
Struggling In Hope (Bergumul Dalam Pengharapan) dengan editor Ferdinand
Suleeman, dkk yang dipersembahkan sebagai penghargaan terhadap Pdt.Eka
Darmaputera juga turut menegaskannya. Dalam buku itu di halaman 116 ditegaskan
bahwa komunitas Taize sendiri menggarisbawahi bahwa mereka tidak bermaksud
untuk mempropagandakan satu model yang seragam untuk segala bangsa dan
kebudayaan. Diharapkan agar umat kristiani di segala tempat dan waktu
mengembangkan cara-cara sendiri yang kontekstual dan oikumenis. Perlu dicatat
juga bahwa sasaran Taize bukan hanya kaum elit yang mempunyai cukup uang untuk
berziarah ke sana dan cukup pintar untuk mengikuti ibadah sehari-hari. Para anggota
komunitas Taize sendiri hidup sangat sederhana dan para utusan Taize justru
ditemukan di tempat-tempat yang paling rawan di dunia (bdk.Filipi 2:1-11).
Perikop dalam bagian bacaan ini berjudul nasihat supaya bersatu dan merendahkan
diri seperti Kristus. Melalui gambaran perikop inilah kita dapat menggambarkan
apa, siapa dan bagaimana komunitas Taize itu sesungguhnya. Persatuan yang
menjadi semangat dari komunitas Taize ini dapat terlukiskan melalui keberadaan
para brudernya hingga kini yang tidak hanya terdiri dari orang-orang Katholik
saja melainkan juga Protestan dengan berbagai latar denominasinya. Bahkan dalam
perkembangannya yang terlibat dalam komunitas ini bukan hanya para bruder yang
terdiri dari kaum laki-laki melainkan juga para kaum perempuan (para suster)
yang lebih banyak terlibat sebagai penyambut. Ibadah Taize memang merupakan
bentuk ibadah yang lebih banyak didominasi dengan doa dan nyanyian. Pelaksanaan
ibadahnya pun mengalir dari awal sampai akhir. Berikut ini adalah rincian
penjelasan mengenai poin-poin dalam rangka mempersiapkan dan melaksanakan
ibadah (doa) di komunitas Taize:
Mazmur
Yesus
berdoa doa-doa yang kuno ini. Orang-orang Kristen selalu menemukan mata air
hidup di dalamnya. Mazmur menempatkan kita dalam persatuan yang dalam bersama
dengan semua umat percaya. Kegembiraan, kesedihan, iman kita kepada Tuhan,
kehausan dan bahkan kecemasan kita ditemukan dalam ungkapan-ungkapan mazmur.
Satu atau dua orang dapat mendaraskan atau membacakan ayat-ayat mazmur. Setelah
setiap ayat, semua orang menyambutnya dengan Aleluia atau nyanyian aklamasi
yang lainnya. Jika ayat-ayat tersebut dinyanyikan, sebaiknya tidak terlalu
panjang, biasanya sepanjang dua baris. Dalam beberapa hal, para peserta doa
dapat mendengungkan nada akhir dari aklamasi ketika ayat solo dinyanyikan. Jika
ayat-ayat tersebut dibacakan dan tidak dinyanyikan, dapat menjadi lebih
panjang. Oleh sebab itu tidaklah perlu untuk membaca keseluruhan mazmur.
Janganlah ragu-ragu untuk memilih hanya beberapa ayat dan sebaiknya ayat-ayat tersebut
mudah dipahami.
Bacaan
Membaca
Kitab Suci adalah satu jalan menuju “mata air yang tak melelahkan dimana Tuhan
telah memberikan diri-Nya sendiri untuk menawarkan dahaga umat manusia”
(Origen, abad ke tiga). Alkitab merupakan “surat dari Tuhan untuk karya
ciptaan-Nya” sehingga mereka “dapat menemukan hati Tuhan di dalam sabda Tuhan”
(Gregorius Agung, abad ke enam). Komunitas-komunitas yang berdoa bersama secara
rutin membaca Alkitab secara teratur. Tetapi untuk acara doa mingguan atau
bulanan, bacaan-bacaan yang mudah dipahami harus dipilih, yang juga cocok untuk
tema doa atau yang sesuai dengan penanggalan liturgi. Setiap bacaan dapat
dimulai dengan kata-kata “Bacaan dari ….” atau “Injil menurut Santo …” Jika
terdapat dua bacaan, bacaan yang pertama dapat dipilih dari Perjanjian Lama,
Surat para Rasul, Kisah para Rasul atau dari Wahyu; bacaan kedua sebaiknya
selalu dari salah satu Injil. Dalam hal ini, sebuah nyanyian meditatif dapat
dinyanyikan di antara kedua bacaan tersebut. Sebelum dan sesudah bacaan,
sebaiknya dipilih sebuah nyanyian untuk merayakan cahaya Kristus. Ketika
nyanyian ini dinyanyikan, anak-anak atau kaum muda dapat maju ke depan dengan
lilin yang bernyala untuk menyalakan lampu minyak yang didirikan di atas sebuah
penopang. Tanda ini mengingatkan kita bahwa sekalipun malam sangat gelap, entah
itu di dalam hidup kita atau dalam kehidupan umat manusia, cinta Kristus adalah
sebuah nyala api yang tak pernah padam.
Nyanyian
Saat hening
Ketika kita
mencoba untuk mengungkapkan persatuan dengan Tuhan dalam kata-kata, alam pikiran
kita sering datang dengan cepat. Tetapi, di kedalaman diri kita, melalui Roh
Kudus, Kristus berdoa jauh lebih banyak dari pada yang dapat kita bayangkan.
Sekalipun Tuhan tidak pernah berhenti mencoba untuk berhubungan dengan kita,
doa ini tidak pernah dipaksakan. Suara Tuhan seringkali terdengar hanya berupa
bisikan, dalam sebuah tarikan napas keheningan. Tinggal diam dalam keheningan
dalam kehadiran Tuhan, membuka diri kepada Roh Kudus, adalah sudah merupakan
sebuah doa. Jalan menuju kontemplasi bukanlah untuk mencapai keheningan batin
dengan jalan mengikuti beberapa teknik yang membuat semacam kehampaan di dalam
diri kita.Sebaliknya, dengan iman seorang anak kecil, kita membiarkan Kristus
berdoa dengan hening di dalam diri kita, sehingga suatu hari kita akan
menemukan bahwa di kedalaman diri kita terdapat suatu kehadiran. Selama doa
bersama dengan orang lain, yang terbaik adalah terdapat satu kali saat hening
yang agak panjang (5 sampai 10 menit) dari pada beberapa kali saat hening
dengan waktu-waktu yang pendek. Jika mereka yang hadir dalam doa tidak terbiasa
dengan saat hening, adalah sangat membantu bila sebelumnya diberikan penjelasan
singkat Atau, segera sesudah nyanyian penghantar saat hening, seseorang dapat
berkata, “Doa akan dilanjutkan dengan saat hening selama beberapa saat.”
Doa permohonan atau Litani pujian
Sebuah doa
mengandung petisi (doa permohonan) pendek atau aklamasi, yang dibantu dengan
dengungan, dengan setiap petisi diikuti dengan sebuah jawaban yang dinyanyikan
oleh semua orang, dapat berupa semacam “tiang api” di pusat hati doa tersebut.
Mendoakan orang lain melebarkan doa kita kepada berbagai sisi kehidupan seluruh
umat manusia; kita mempercayakan kepada Tuhan kegembiraan, harapan-harapan,
kesedihan dan penderitaan semua orang, khususnya bagi mereka yang terlupakan.
Sebuah doa pujian memungkinkan kita untuk merayakan segalanya bahwa Tuhan
adalah bagi kita.
Satu atau
dua orang dapat mengungkapkan doa permohonan mereka atau aklamasi pujian, yang
dinyanyikan di awal dan disertai dengan seruan Kyrie eleison, Gospodi pomiluj
(Tuhan, kasihanilah kami), atau Kami memuji-Mu, Tuhan. Setelah doa permohonan
selesai dibacakan, berikanlah waktu sejenak bagi orang-orang untuk mengucapkan
berdoa secara spontan melalui kata-kata mereka sendiri, ungkapan doa yang
keluar dari hati mereka. Doa-doa spontan ini sebaiknya pendek dan ditujukan
kepada Tuhan; bukan merupakan kesempatan untuk menyampaikan gagasan-gagasan
pribadi dan pandangan-pandangan bagi orang lain yang mereka bawakan sebagai
doa. Setiap doa spontan ini disertai dengan seruan yang sama yang dinyanyikan
oleh semua orang.
Doa Bapa Kami
Doa Penutup
Nyanyian
Terakhir, nyanyian dapat dilanjutkan untuk beberapa waktu.
Sebagian dari peserta doa, jika mereka menginginkannya, dapat tetap tinggal
untuk terus bernyanyi atau meneruskan doa. Sebagian dari peserta doa yang lain
dapat diundang untuk saling berbagi pendapat dalam kelompok-kelompok kecil yang
diadakan tak jauh dari ruangan doa, misalnya untuk merenungkan bacaan dari
Kitab Suci, untuk memudahkan dapat digunakan “Renungan Yohanes”. Setiap bulan
di dalam Surat dari Taizé, terdapat “Renungan Yohanes” yang menyarankan saat
hening dan saling berbagi pendapat di seputar bacaan Kitab Suci. (Op.Cit., Spiritualitas Katolik
Wordpress.com).
Penutup:
Kesimpulan & Refleksi Teologis
Dari berbagai uraian mengenai komunitas Taize tersebut di atas
kita dapat menyimpulkan bahwa komunitas Taize telah memberikan sumbangsih yang
baik bagi perkembangan dan peningkatan spiritualitas jemaat dan gereja di
seluruh dunia. Prinsip-prinsip yang dipegang dan diterapkan pun sangat
Alkitabiah. Dengan demikian tidak ada alasan bagi kita untuk menutup diri
terhadap eksistensi mereka dan dampaknya bagi perkembangan gereja serta jemaat
kita terutama dalam hal spiritualitas yang senantiasa mengarah kepada
spiritualitas Kristus, dimana Kristus menjadi teladan hidup tiap-tiap orang,
terutama orang-orang percaya. Dalam hal ini komunitas Taize juga menjadi bagian
dari komunitas orang percaya. Dengan demikian komunitas Taize merupakan bagian
yang nyata eksistensinya bagi perkembangan gereja di seluruh dunia termasuk
kita. Untuk itu merupakan hal yang baik juga ketika kita mau membuka diri kita
untuk mau belajar tentang tata cara dan pola yang diterapkan dalam komunitas
(ibadah) Taize. Dengan demikian gereja kita bukan menjadi gereja yang kaku.
Dengan sikap terbuka yang kita miliki juga kita sudah mampu menyadari bahwa
tiap-tiap kita sebagai komunitas orang percaya secara menyeluruh (inter
denominasi) merupakan kesatuan tubuh Kristus dimana Kristus yang menjadi
kepalanya.
Tulisan ini dibuat dalam rangka memberikan pengetahuan kepada
jemaat mengenai komunitas Taize yang dalam ibadahnya lebih banyak didominasi
dengan nyanyian dan doa. Beberapa contoh lagu Taize yang dimuat juga dalam buku
pujian kita antara lain: Angkatlah Gita Baru (PKJ 298), Bersyukur Puji Tuhan
(PKJ 299), Jangan Kuatir (PKJ 302), Segala Suku Bangsa (PKJ 305), Tuhanlah
Kekuatanku (PKJ 307) dan Yesus TerangMu Pelita Hatiku (PKJ 308). Hal ini
menunjukkan bahwa kita sesungguhnya telah menjadi gereja yang terbuka. Biarlah
kiranya keterbukaan itu juga dapat kita jiwai dan terapkan bersama bukan hanya
dalam ibadah formal di gereja melainkan juga dalam kehidupan keseharian kita,
sehingga kita tidak menjadi orang-orang yang eksklusif melainkan inklusif.
Dengan demikian kita mampu menghargai kepelbagaian. Dalam kaitannya dengan
kemerdekaan, maka penghargaan terhadap kepelbagaian menandakan bahwa tiap-tiap
kita seyogyanya telah menjadi orang-orang yang merdeka. Yang mampu
mengekspresikan Kristus dalam berbagai cara yang positif dan membangun; yang
sesuai dengan kaidah nilai-nilai iman kita sebagaimana terkandung di dalam
Alkitab. Dengan demikian kebebasan dan kemerdekaan yang kita terapkan tetaplah
merupakan kebebasan dan kemerdekaan yang bertanggung jawab dan bukannya
kebebasan yang tanpa aturan. Satu hal yang perlu diingat bahwa Allah kita
adalah Allah yang menyukai keteraturan dan sangat bertanggung jawab memelihara
ciptaan-Nya. Pun akan tiba saatnya bagi kita untuk mempertanggungjawabkan
segala sesuatu yang kita hidupi di dunia ini di hadapan-Nya pada saat
penghakiman terakhir. Oleh karena itu jalanilah hidup ini dengan penuh tanggung
jawab. Selamat merayakan bulan musik gerejawi yang jatuh pada bulan Agustus.
Pun selamat memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia. Merdeka! Soli Deo
Gloria. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar